PAKISTAN - Pakistan mengakui melakukan operasi anti-teroris berbasis intelijen di Afghanistan setelah Taliban menuduh mereka membunuh delapan perempuan dan anak-anak.
Tidak ada rincian pasti yang diberikan mengenai operasi tersebut dalam pernyataan resmi.
Namun, mereka mengatakan hal itu dilakukan sebagai respons terhadap serangan militan yang menewaskan tujuh tentara Pakistan pada Sabtu (16/3/2024).
Taliban membantah adanya kaitan dengan kelompok militan tersebut, dan menambahkan bahwa serangan “sembrono” tersebut telah menghantam rumah-rumah warga sipil.
Zabihullah Mujahid, juru bicara pemerintah Taliban, memperingatkan Pakistan untuk tidak menyalahkan Afghanistan atas kurangnya kontrol dan masalah di wilayahnya sendiri dalam sebuah pernyataan yang dirilis di X.
“Insiden seperti itu dapat menimbulkan konsekuensi yang sangat buruk yang tidak dapat dikendalikan oleh Pakistan,” cuitnya, dikutip BBC.
Seperti diketahui, ketegangan meningkat antara Afghanistan dan Pakistan sejak Taliban kembali menguasai negara itu pada 2021.
Pakistan mengatakan mereka sedang menghadapi meningkatnya jumlah serangan militan. Pada Senin (18/3/2024), Pakistan menuduh menuduh elemen-elemen tertentu di antara mereka yang berkuasa secara aktif mendukung kelompok militan Tehrik-i-Taliban Pakistan (TTP), dan menggunakan mereka sebagai proksi untuk melawan Pakistan.
Pernyataan pada Senin (18/3/2024) mengatakan sasaran operasi itu adalah kelompok lain, Hafiz Gul Bahadur, yang dituduh Pakistan menyerang pos militer dekat perbatasan Afghanistan di Waziristan utara.
Presiden Pakistan Asif Ali Zardari telah berjanji untuk merespons dengan tegas atas kematian tentara tersebut, terlepas dari siapa mereka atau dari negara mana kelompok tersebut berasal.
Namun juru bicara Taliban, Mujahid, mengatakan serangan pukul 03:00 (22:30 GMT) di Khost dan Paktika telah menewaskan lima wanita dan tiga anak.
Belakangan dikatakan bahwa mereka telah melepaskan tembakan ke arah pasukan Pakistan yang ditempatkan di sepanjang perbatasan.
Akhir tahun lalu, Pakistan memaksa ratusan ribu warga Afghanistan meninggalkan Pakistan, dengan alasan mereka tidak memiliki dokumen yang diperlukan untuk tinggal. Kelompok hak asasi manusia mengkritik kebijakan tersebut dan mengatakan bahwa kebijakan tersebut mengakibatkan banyak pengungsi dan pencari suaka terpaksa meninggalkan negara mereka.
Para menteri sementara pada saat itu berpendapat bahwa hal ini dilakukan karena alasan keamanan. Beberapa analis berpendapat bahwa kelompok-kelompok tersebut mengambil keuntungan dari kembalinya Taliban.
AFP melaporkan, Taliban membantah menjadi tuan rumah bagi kelompok-kelompok militan.
(Susi Susanti)