JAKARTA - Hari Raya Idul Fitri adalah hari kemenangan bagi umat Muslim. Pada momen itu, umat Muslim akan menggelar Sholat Idul Fitri.
Dahulu di era penjajahan tak seaman dan senyaman sekarang. Pada masa penjajahan Belanda, titik Sholat Idul Fitri terletak di pekarangan rumah bekas Soekarno di Pegangsaan Timur Nomor 56.
Setelah Agresi Militer 1 Belanda pada 1947 dan perjanjian Renville pada 17 Januari 1948, Jakarta jatuh ke tangan Belanda. Meskipun Jakarta menjadi wilayah Belanda, puluhan ribu warga tetap menggelar Sholat Idul Fitri dalam skala besar di pusat kota, dengan titik utama di rumah bekas Bung Karno.
Menurut buku 'Kronik Revolusi Indonesia: Jilid IV (1948)' karya Pramoedya Ananta Toer dkk, Belanda mengusulkan agar Sholat Idul Fitri diadakan di Lapangan Gambir. Namun, anjuran tersebut tidak diikuti oleh Panitia Sholat Idul Fitri 1367 H.
"Sebagai diketahui, Pegangsaan Timur 56 oleh rakyat Jakarta dianggap simbol Republik (Indonesia). Lapangan Gambir Simbol Kekuatan Asing,” tulis Pramoedya Ananta Toer dkk.
Usulan tersebut disampaikan dua hari sebelum Hari Raya, yakni pada 4 Agustus 1948. Pemerintah Belanda menetapkan 1 Syawal 1367 H pada 7 Agustus, bukan pada 6 Agustus seperti yang telah ditetapkan pemerintah republik di Yogyakarta.
Meskipun demikian, panitia dan masyarakat tetap bertekad untuk melaksanakan Sholat Idul Fitri pada 6 Agustus, sesuai dengan ketentuan pemerintah republik di Yogyakarta.
Panitia akhirnya bertemu dengan Pokrol Jenderal (Jaksa Agung) pada 5 Agustus, yang awalnya juga keberatan dengan rencana Sholat Idul Fitri di Pegangsaan Timur 56. Namun, negosiasi tersebut menghasilkan izin dari Pokrol Jenderal dengan syarat bahwa jumlah jamaah tidak boleh lebih dari 100 orang.