Di malam sebelum Lebaran sudah menjadi kebiasaan bagi kanak-kanak untuk main petasan. Semua anak-anak melakukannya, kecuali Seokarno.
Saat hari Lebaran Bung Karno berbaring seorang diri dalam kamar-tidurnya yang kecil yang hanya cukup untuk satu tempat-tidur. Dengan hati yang gundah dirinya mengintip keluar arah ke langit melalui tiga buah lubang udara yang kecil-kecil pada dinding bambu. Lubang itu besarnya kira-kira sebesar batubata.
Bung Karno merasa dirinya sangat malang. Hatinya serasa akan pecah melihat di sekeliling terdengar bunyi petasan berletusan di sela oleh sorak-sorai kawan-kawannya karena kegirangan.
Betapa hancur dan luluh hatinya, mengapa semua kawan-kawannya dapat membeli petasan yang harganya satu sen itu, namun dirinya tidak.
“Alangkah dahsyatnya perasaan itu. Mau mati aku rasanya,”
Satu-satunya jalan bagi seorang anak untuk mempertahankan diri ialah dengan melepaskan sendu-sedan yang tak terkendalikan dan meratap di atas tempat-tidurnya. Bung Karno teringat ketika menangis kepada ibu dan mengumpat.
Dari tahun ke tahun dia selalu berharap-harap, tapi tak sekalipun bisa melepaskan mercon. Suatu ketika, di malam hari datang seorang tamu menemui ayahnya. Dia memegang bungkusan kecil di tangannya. “Ini," katanya sambil mengulurkan bingkisan itu kepada Bung Karno.
Bung Karno sangat gemetar karena terharu mendapat hadiah itu, sehingga hampir tidak sanggup membukanya.
Isinya ternyata adalah petasan. Dia sangat bahagia, bahkan itu menjadi salah satu kejadian yang dapat dilupakannya untuk selama-lamanya, karena jangankan beli mercon, saking melaratnya pernah tidak bisa makan satu kali dalam sehari.
Makanan yang paling sering dimakan pun ubi kayu, jagung tumbuk dengan makanan lain. Bahkan, ibunya tidak mampu membeli beras murah yang biasa dibeli oleh para petani. Ia hanya bisa membeli padi.
Setiap pagi ibunya mengambil lesung dan menumbuk, menumbuk, tak henti-hentinya menumbuk butiran-butiran berkulit itu sampai menjadi beras seperti yang dijual orang di pasar.
“Dengan melakukan ini aku menghemat uang satu sen," katanya kepada Bung Karno pada suatu hari ketika sedang bekerja dalam teriknya panas matahari sampai telapak tangannya merah dan melepuh. Uang satu sen itu, bisa digunakan untuk membeli sayuran.
Semenjak hari itu dan seterusnya selama beberapa tahun kemudian, setiap pagi sebelum berangkat ke sekolah Bung Karno menumbuk padi untuk ibunya. Kemiskinan seperti yang dialami menyebabkan orang menjadi akrab apabila tidak ada barang mainan atau untuk dimakan.
Bung Karno merasa tidak memiliki apa-apa di dunia ini selain daripada ibu. Bung Karno dekat dengan ibunya sebagai satu-satunya sumber pelepas kepuasan hatinya.
“Ia adalah ganti gula-gula yang tak dapat kumiliki dan ia adalah semua milikku yang ada di dunia ini.”
(Fakhrizal Fakhri )