JAKARTA - Tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih terus mengusut dugaan aliran uang korupsi proyek fiktif PT Amarta Karya ke sejumlah pihak. Salah satu pihak yang diduga menerima yakni, Dirut AirNav Indonesia, Polana Banguningsih Pramesti.
Juru Bicara (Jubir) KPK, Tessa Mahardika memastikan bahwa penyidikan kasus Amarta Karya masih terus berlanjut. Termasuk, soal aliran uang. Diketahui, Polana pernah diperiksa KPK berkaitan dengan aliran uang korupsi PT Amarta Karya pada Agustus 2023, silam.
"Karena penyidikannya masih berjalan dan status yang bersangkutan (Polana) masih sebagai saksi. Update (kasusnya) sebagaimana yang mas Ali Fikri sampaikan sebelumnya, masih update yang termuktahir sampai dengan saat ini,” kata Tessa Mahardika kepada awak media, Senin (10/6/2024).
Sebelumnya, KPK memeriksa Polana Banguningsih dalam kapasitasnya sebagai saksi terkait kasus dugaan korupsi terkait proyek pengadaan subkontraktor fiktif di PT Amarta Karya tahun 2018 sampai 2020, pada Agustus 2023.
Polana dicecar tim penyidik KPK soal aliran uang proyek fiktif PT Amarta Karya yang diduga digunakan untuk kegiatan bisnis perusahaan. Polana diduga mengetahui aliran uang proyek fiktif untuk kegiatan bisnis tersebut.
"Kedua saksi hadir dan didalami pengetahuannya antara lain dugaan adanya aliran uang dari proyek fiktif PT AK (Amarta Karya) ke beberapa kegiatan bisnis perusahaan," kata Kabag Pemberitaan KPK, Ali Fikri melalui pesan singkatnya, Jumat, 4 Agustus 2023.
"Selanjutnya akan didalami dan dikonfirmasi lebih lanjut ke beberapa pihak," sambungnya.
Sementara itu, Sekretaris Perusahaan AirNav Indonesia, Hermana Soegijantoro membantah kaitan pemeriksaan Polana Banguningsih Pramesti dengan PT AirNav Indonesia. Hermana mengklaim bahwa kasus dugaan korupsi proyek PT Amarta Karya tidak ada kaitannya dengan PT AirNav Indonesia.
"Kasus subkontraktor fiktif di internal PT Amarta Karya yang terjadi pada tahun 2018, tidak ada kaitannya dengan AirNav Indonesia," ujar Hermana melalui keterangan resminya, Jumat (4/8/2023).
Diketahui sebelumnya, KPK telah menetapkan mantan Dirut PT Amarta Karya, Catur Prabowo dan eks Direktur Keuangannya, Trisna Sutisna sebagai tersangka. Keduanya ditetapkan tersangka kasus dugaan korupsi terkait proyek pengadaan subkontraktor fiktif di PT Amarta Karya tahun 2018 sampai 2020.
Dalam perkara ini, diduga ada sekira 60 proyek pengadaan PT Amarta Karya Persero yang disubkontraktorkan secara fiktif oleh Catur dan Trisna. Di mana, sejumlah proyek tersebut di antaranya, pekerjaan konstruksi pembangunan rumah susun Pulo Jahe, Jakarta Timur.
Kemudian, pengadaan jasa konstruksi pembangunan gedung olahraga Univesitas Negeri Jakarta. Selanjutnya, pembangunan laboratorium bio safety level tiga di Universitas Padjajajran (Unpad).
KPK menyebut uang yang diterima Catur Prabowo dan Trisna Sutisna diduga digunakan untuk membayar tagihan kartu kredit, pembelian emas, perjalanan pribadi ke luar negeri, pembayaran member golf dan juga pemberian ke beberapa pihak terkait lainnya.
Akibat perbuatan kedua tersangka tersebut, negara ditaksir mengalami kerugian sekira Rp46 miliar. KPK saat ini masih terus menelusuri aliran uang ke pihak-pihak lainnya. Diduga, banyak pihak yang kecipratan dana haram proyek tersebut.
Atas perbuatannya, Catur disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
(Khafid Mardiyansyah)