JAKARTA - Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) prihatin atas kejadian laporan pelecehan yang dilaporkan jurnalis perempuan berinisial QHS yang tidak direspon baik oleh pihak kepolisian. Korban mengalami pelecehan seksual di Commuter Line relasi Jakarta-Bogor, pada Selasa, 16 Juli 2024.
Usai kejadian korban diketahui melapor hingga ke-tiga polsek dan satu polres, namun laporannya tak ada yang di respon. Padahal ditegaskan Ketua PWI DKI Jakarta, Kesit Budi Handoyo kalau institusi Polri seharusnya melindungi dan mengayomi masyarakat.
"Tagline Polri adalah Melindungi dan mengayomi, namun dalam kasus ini tidak ada dua hal di atas yang diimplementasikan oleh anggota kepolisian. Dan menurut saya itu sangat menyedihkan," ucap Kesit saat dikonfirmasi, Kamis (18/7/2024).
Menurutnya, jika memang tidak ada pasal yang tidak bisa menjerat pelaku, setidaknya anggota kepolisian mempunyai empati atas peristiwa yang dialami korban. "Bagaimana polisi mau dibilang humanis jika empati saja tidak punya," sindirnya.
Adapun kronologi diceritakan korban, peristiwa pelecehan itu bermula, setelah seorang petugas KAI menegur dirinya kalau ada seseorang pengguna lainnya yang sedang merekam QHS. Hal tersebut membuat korban kaget dan langsung menghampiri pria paruh baya untuk menanyakan maksud perekaman itu.
"Seorang petugas KAI yang sudah selesai bertugas dan memakai jaket bangkit dan berdiri sambil bilang ke saya, 'Mbak, itu divideoin mba sama bapak ini', sambil menunjuk ke seorang pria separuh baya. Saya kaget dan bingung. Ternyata di seberang saya ada seorang bapak, belakangan saya tahu umurnya 52 tahun, yang sedang memegang HP," ujar korban dalam keterangan, dikutip Kamis (18/7/2024).
Setelah dilakukan pengecekan ponsel, ternyata terduga pelaku tak hanya melakukan perekaman sekali melainkan terdapat tujuh video korban dengan rentang durasi 3-7 menit. Selanjutnya korban dan pria tua itu diamankan di pos sekuriti stasiun Jakarta kota.
"Saat berada di kantor sekuriti dan mengecek HP, kami semua melihat bahwa di HP bapak itu ternyata tidak hanya saya saja yang menjadi korban, tetapi banyak juga video korban lainnya. Lebih menjijikan lagi, di memori HP tersebut terdapat 300 lebih video porno," sambungnya.
Atas bukti-bukti tersebut lantas korban melaporkan kejadian ini ke pihak kepolisian. Mulanya korban mendatangi Polsek Taman Sari, namun secara yuridiksi kasus ini tidak dapat diproses sebab penangkapan pelaku berada di Stasiun Manggarai.
Selanjutnya, QHS beranjak ke Polsek Menteng, namun laporannya tak bisa ditangani karena lokasi kasus dan membuat korban melaporkan ke Polsek Tebet. Disanalah korban dimintai keterangan seorang diri tanpa mendapat pendampingan dari keluarga.
"Di sinilah (Polsek Tebet) saya merasa aneh. Sebagai seorang korban yang masih dalam rasa trauma dan ketakutan, harus berhadapan dengan birokrasi pelaporan yang belibet. Di Polsek Tebet inilah saya berhadapan dengan oknum petugas yang menanggapi laporan yang justru ada kesan ditolak dengan berbagai alasan," sambungnya.
Namun bukannya malah membantu memproses laporan justru korban mendapatkan perlakuan tidak mengenakkan oleh anggota Polsek Tebet. 'Mbanya divideoin karena cantik lagi'. 'Mungkin bapaknya fetish, terinspirasi dari video jepang'. 'Bapaknya ngefans sama Mbanya, mba idol'.
"Di akhir pembicaraan, si petugas itu berkata 'tidak ada yang bisa kami lakukan'. What? Bukti video begitu banyak tapi tidak bisa melakukan apa-apa," kata korban.
Selanjutnya, pihak Polsek Tebet menyarankan korban ke Polres Jakarta Selatan karena memang kasus ini, belum ke transmisi atau belum disebarluaskan. Jadi Polsek Tebet belum bisa menerima laporan untuk diproses.
"Lagi dan lagi, saya bersama keluarga dan pelaku yang masih didampingi oleh pihak KAI berpindah ke Polres Jakarta Selatan ke unit PPA (Unit Pelayanan Perempuan dan Anak). Saat itu udah lewat jam 00.01 WIB," ujarnya.
Akan tetapi meski sudah menjelaskan kronologi peristiwa tersebut ke Petugas Polres Jakarta Selatan, laporan korban tetap tidak bisa di proses.
"Saya bahkan sampai terhenyak ketika seorang oknum Polwan dengan tenangnya menjelaskan bahwa, "Mbak, kasus ini tidak bisa ditindak pidana karena memang harus sesuai dengan ketentuan harus keliatan alat vital atau sensitif, dan mbaknya divideoin secara paksa," tuturnya.
"Karena, kata si Polwan lagi, dari bukti video di HP pelaku kami tidak menemukan bahwa ini ada tindakan pelecehan, dan untuk tindakan tidak menyenangkan itu sudah tidak ada di Pasal 335. 'adanya tindakan tidak menyenangkan itu karena ada paksaan dari pelaku' begitu kata si Polwan," imbuhnya.
(Fahmi Firdaus )