Kendati begitu, Selly menilai, pelaksanaan penambahan cuti bagi ayah untuk temani ibu lahir sedikit sulit terealisasi. Menurutnya, perpanjangan cuti itu dapat mempengaruhi produktivitas jangka pendek di perusahaan, terutama bagi sektor-sektor yang sangat bergantung pada tenaga kerja.
“Pengusaha mungkin khawatir bahwa cuti yang lebih panjang akan menambah beban biaya, baik dari segi gaji yang tetap harus dibayarkan maupun biaya untuk menutupi kekosongan tenaga kerja,” katanya.
Padahal, menurut Selly, cuti ayah dalam jangka panjang dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga. Tentunya hal tersebut berdampak positif terhadap produktivitas karyawan karena dapat mengurangi stres hingga meningkatnya loyalitas serta kinerja.
“Implementasi kebijakan ini memerlukan pendanaan yang cukup, termasuk untuk sistem administrasi yang memastikan hak cuti ayah dapat diakses oleh semua pekerja tanpa diskriminasi,” ucap Selly.
“Ini mungkin memerlukan alokasi anggaran tambahan dari Pemerintah atau skema pembiayaan baru, yang bisa berupa kontribusi dari pengusaha atau partisipasi dari sistem asuransi sosial,” imbuhnya.
Terlepas dari itu, Selly berkata, perpanjangan cuti ayah perlu dukungan politik yang kuat, baik dari pemerintah pusat maupun daerah. Pasalnya, ia menilai, kebijakan itu bisa timbulkan resistensi dari kelompok yang merasa dirugikan atau terancam oleh perubahan ini, terutama dari sektor bisnis.
“Oleh karena itu, diperlukan dialog yang konstruktif antara pemerintah, pengusaha, dan serikat pekerja untuk mencapai konsensus dan solusi yang seimbang,” ujar Selly.
(Fakhrizal Fakhri )