JAKARTA – Direktur Pusat Studi Kejahatan Ekonomi Fakultas Hukum (PSKE) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Ari Wibowo meminta publik mengawasi Majelis Hakim Mahkamah Agung (MA) agar dapat independen dalam memutus peninjauan kembali (PK) yang diajukan Mardani H Maming.
Nama mantan Bendum PBNU Mardani H Maming kembali mencuat usai kedapatan mendaftarkan PK secara diam-diam pada 6 Juni 2024. PK yang diajukan Mardani H Maming bernomor 784/PAN.PN/W15-U1/HK2.2/IV/2004.
“Soal adanya dugaan intervensi ke Majelis Hakim Mahkamah Agung yang akan memutus perkara, itu tidak bisa diabaikan, sehingga publik harus terus mengawasinya agar majelis hakim memutus perkara secara independen dan tidak memihak atau imparsial,” ujar Ari, Selasa,(10/9/2024).
Ari mengingatkan mengacu Pasal 263 ayat (2) KUHAP telah ditentukan alasan pengajuan PK secara limitatif yaitu novum atau keadaan baru, pernyataan yang bertentangan satu sama lainnya dan kekhilafan atau kekeliruan nyata. Ari menegaskan, jika tidak ada salah satu dari ketiga alasan itu maka peninjauan kembali (PK) Mardani H Maming selayaknya ditolak.
“Jika salah satu dari ketiga alasan tersebut tidak ada, majelis hakim seharusnya menolak permohonan PK Mardani Maming,” jelas Ari.
Berdasarkan pengamatan dirinya sejauh ini peninjauan kembali atau PK yang diajukan Mardani H Maming tidak memiliki sebuah alasan bagi para Majelis Hakim Mahkamah Agung (MA) untuk menerima. Ari meminta Majelis Hakim MA dapat secara tegas menolak peninjauan kembali (PK) yang diajukan Mardani H Maming.
“Kalau (pada akhirnya) ternyata majelis hakim mengabulkan, putusannya bisa dieksaminasi apakah sudah sesuai dengan kaidah-kaidah hukum yang berlaku. Hasil eksaminasi nantinya bisa menjadi pintu masuk bagi Komisi Yudisial (KY) untuk melakukan memeriksa apakah ada dugaan pelanggaran etik,” tandasnya.
Sekadar diketahui, Jaksa KPK Greafik Lioserte beberapa waktu lalu meminta Mahkamah Agung (MA) menolak PK yang diajukan Mardani Maming.
Dalam permohonan PK itu, salah satu dalil yang digunakan Mardani H Maming adalah kekhilafan majelis hakim terkait putusan kasus korupsi IUP Tanah Bumbu yang merugikan negara Rp104,3 miliar periode 2014-2020.