Musso, namanya melekat sebagai seorang pemberontak di tengah peristiwa pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI). Kala itu PKI mulai melakukan serangkaian peristiwa penculikan dan pembunuhan di beberapa wilayah Madiun, tahun 1948.
Musso yang identik dengan PKI itu sempat tertembak oleh pasukan pengamanan. Saat itu Musso Tengah menuju wilayah Pacitan dari Madiun. Ia akan bergabung ke front, termasuk bertemu ke Soemarsono. Soemarsono ini merupakan bagian dari front nasional yang terdiri dari semua partai termasuk Masyumi, PNI, dan PSII.
Ketika peristiwa pemberontakan di Madiun muncul indikasi PKI berada di dalamnya langsung menguat. Kemudian ada perintah untuk menangkap hidup-hidup atau mati, orang-orang PKI seperti Musso dan Amir Sjarifuddin.
Dikutip dari buku "Negara Madiun? Kesaksian Soemarsono Pelaku Perjuangan", Soemarsono yang kala itu menjadi Gubernur Militer diangkat oleh pasukan front nasional berencana bertemu dengan Musso di Pacitan. Tapi karena situasi yang kurang mendukung, Soemarsono yang menjadi gubernur militer menginisiasi mengirimkan kurir ke Madiun untuk menjemput Musso.
Tapi Musso lantas tak bersedia, dan mengirimkan surat melalui Amir Sjarifuddin, yang juga mantan menteri pertahanan (Menhan). Amir Sjarifuddin sempat meminta Musso untuk berpindah dari Madiun menuju Pacitan.
Belakangan Musso memang menyusul. Ia menuju ke Pacitan, untuk mengamankan jalannya itu, Musso menyamar sebagai kusir andong. Ia membawa kuda dan andong, agar tidak ditahan oleh petugas keamanan.