Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

SPECIAL REPORT : PDIP Gabung ke Pemerintah, Bagaimana Nasib Oposisi?

Khafid Mardiyansyah , Jurnalis-Sabtu, 12 Oktober 2024 |12:41 WIB
SPECIAL REPORT : PDIP Gabung ke Pemerintah, Bagaimana Nasib Oposisi?
Koalisi Pemerintahan Prabowo-Gibran (foto: Okezone)
A
A
A

TANDA-TANDA Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) untuk ikut masuk ke gerbong pemerintahan yang dipimpin Prabowo-Gibran makin kencang terdengar.

Pertemuan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri dan Prabowo yang sudah dikonfirmasikan Sekjen PDIP maupun Gerindra, diprediksi bakal menjadi puncak dari terbentuknya pemerintahan niroposisi. Bahkan, Ketua DPP PDIP, Puan Maharani memastikan tak menutup pintu koalisi.

Menurut anak dari Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri itu, tak ada yang tak mungkin bagi PDIP untuk masuk dalam gerbong koalisi pemerintah. Apalagi, PDIP dengan Prabowo selalu menjalin komunikasi sejak selesai Pemilu.

"Insya Allah, tidak ada yang tidak mungkin," ujar Puan di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta beberapa waktu lalu.

Peluang PDIP masuk gerbong pemerintahan Prabowo-Gibran dibaca pengamat politik dari Universitas Al-Azhar, Ujang Komarudin. Menurutnya, bukanlah hal yang mustahil. Ia merujuk dari sikap politik Prabowo yang mengajak semua elemen berada di barisannya.

"Jadi, kalau ada komitmen bertemu dan membangun koalisi, itu mungkin. Apalagi waktu terpilih, Prabowo menyatakan ingin mengajak semua elemen masyarakat," kata Ujang.

Ujang pun mengingatkan kepada PDIP, jika ingin bergabung dalam koalisi perlu menertibkan kader-kadernya yang kerap menyerang pemerintahan Prabowo-Gibran. Itu merupakan sebuah konsekuensi karena harus mendukung program dan kerja pemerintah.

"Ketika ada banyak kader tidak tertib, itu bukan hanya merugikan PDIP, tapi juga Prabowo-Gibran," ujarnya.

Prabowo dan Megawati

Menurut Ujang, PDIP harus bisa membawa diri ketika sudah berada dalam koalisi. "Jangan mengkritik karena sudah ada dalam koalisi. Masa jeruk makan jeruk. Masa berkoalisi tapi mengkritisi. Masa tinggal di rumah justru membakar rumah itu," tambahnya.

Senada diungkapkan, pengamat politik Selamat Ginting. Menurutnya, peluang PDIP bergabung ke koalisi pemerintahan Prabowo-Gibran terbuka lebar. Ia melihat dari kedekatan Prabowo dengan Megawati yang sudah lama terjalin.

"Keduanya memungkinkan akan bertemu membicarakan koalisi. Tapi, tidak dilakukan sebelum pelantikan karena menunggu lengsernya Jokowi. Ini adalah kepatutan politik," katanya.

 

Ginting menambahkan, PDIP akan memainkan peran terkait dengan para kadernya. "PDIP pasti akan menghitung sejauh mana untuk tetap menjaga soliditas partainya. Dengan adanya peran kader yang kritis maupun yang tidak, memperlihatkan PDIP sedang memainkan perannya," pungkasnya.

Koalisi Gemuk Bukan Masalah Bagi Prabowo

Presiden Terpilih Prabowo Subianto mengungkapkan alasan dirinya akan membuat kabinet yang terdiri dari 46 kementerian menurut bocoran yang tengah heboh. Menurut Prabowo, hal ini karena negara kita adalah yang besar seperti Eropa.

"Karena saya ingin membentuk pemerintahan persatuan nasional yang kuat terpaksa koalisinya besar, nanti akan dibilang woah kabinet Prabowo kabinet gemuk, banyak, ya negara kita besar bung!" seru Prabowo dalam acara BNI Investor Daily Summit 2024.

Prabowo menyebut negara kita luasnya seperti benua Eropa yang terdiri 27 negara, Indonesia hanya satu. Prabowo juga mencontohkan Timor Leste dengan 1,3 juta penduduk, setara dengan Kabupaten Bogor di Jawa Barat.

"Saya harus merangkul semua kelompok, harus ada perwakilan. Harus ada perwakilan Indonesia timur, tengah dan barat, suku-suku di Indonesia," tegas Prabowo.

Di lain tempat, Prabowo Subianto menyatakan ingin menghimpun seluruh kekuatan bangsa untuk bersama, bersatu, serta kompak dalam membangun Indonesia. Hal itu ia ungkapkan saat menghadiri acara 'Forum Legislator PKB' yang digelar di Grand Sahid Jaya, Jakarta.

Ia lantas mengajak semua pihak untuk menghormati setiap perbedaan yang ada dan mensyukurinya sebagai bagian dari keberagaman di Indonesia. Prabowo kemudian mencontohkan bagaimana Koalisi Indonesia Maju (KIM) memiliki arah yang berbeda saat Pilkada namun masih tetap bisa saling menghargai.

“Dengan Koalisi Indonesia Maju yang lain, ada di mana (saatnya) kita bergabung dan ada di mana (saatnya) kita bersaing. Kita sama Golkar bersaing di Banten, tidak ada masalah. Kita di Jawa Barat juga bersaing sama PKS. Di Jawa Tengah sama PKB kita gabung, ya tidak ada masalah karena kita harus percaya bahwa semua partai di Indonesia, semua hatinya adalah bangsa Indonesia, hatinya adalah merah putih,” katanya.

 

Demokrasi di Indonesia, lanjut Prabowo, memiliki kekhasan tersendiri. Untuk itu, ia mengimbau semua pihak untuk tidak mengikuti negara lain, di mana jika terdapat perbedaan maka bermusuhan. 

“Kita tidak usah ikut-ikut negara lain. Kalau sudah oposisi, musuhan. Kalau sudah berbeda, tidak mau lihat-lihatan. Buktinya saya mau datang ke sini. Saya tadi terima tamu resmi dari luar negeri dan pakai jas, tahu-tahu ada acara ini jadi saya ganti hanya dasinya, karena NU (maka) ganti hijau,” jelas Prabowo.

Terlihat Sehat Padahal Beracun

Direktur Eksekutif Voxpol Center Research & Consulting, Pangi Syarwi Chaniago menjelaskan, bahwa negara tanpa oposisi hanya akan terlihat sehat di luar namun justru "beracun" bagi masyarakat.

Saat dihubungi Okezone, Pangi menjelaskan bahwa negara tanpa oposisi hanya akan membuat pemerintah menuju otoritarianisme. Sebagai contoh, Pangi menjelaskan bagaimana pemerintahan Jokowi di akhir jabatan yang terkesan ugal-ugalan, dalam membuat kebijakan.

"Pembahasan undang-undang bisa sesuka hati, tidak dibahas secara berlapis, tidak dibahas secara kehati-hatian. Seperti UU KPK, UU Omnibus Law, UU Minerba, misalnya RUU Perampasan Aset tak ada tindak lanjut, kemudian revisi UU MK, semuanya karena DPR hanya jadi tukang stempel pemerintah," katanya kepada Okezone.

 

Menurutnya, pemerintahan yang berjalan tanpa oposisi hanya terlihat sehat di luar, namun beracun bagi masyarakat.

"Banyak kepentingan yang menempel dalam pembentukan Undang-Undang, ada Politik Kartel, Pebisnis, Pemburu Rente, banyak UU yang tak sesuai aspirasi masyarakat," jelasnya.

"Gak kebayang, bagaimana pembentukan aturan tak ada koreksi tak ada pemikiran alternatif, terlihat sehat tapi itu bisa jadi beracun, bisa berbahaya," ujarnya.

Pangi menilai, dari kacamata politik, menjadi oposisi di masa kini dianggap merugikan karena tak bisa diubah menjadi komoditas politik. Ia mencontohkan bagaimana PKS dan Demokrat yang suaranya stagnan ketika menjadi oposisi Jokowi.

"Kita melihat Demokrat dan PKS, suaranya tetap stagnan, ya mungkin karena oposisi meraka tidak all out," jelasnya.

Namun, ia menilai ada satu partai yang berhasil menjadi oposisi, karena kritis terhadap pemerintah dan bisa dihargai oleh masyarakat.

"Itulah PDIP, sebenarnya PDIP itu pernah menjadi oposisi yang istilahnya kaffah, total, all out dan itu dihargai oleh masyarakat sehingga menjadi partai pemenang di 2014," ulasnya.

(Awaludin)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement