Menurut media Korea Utara, tindakan tersebut digambarkan sebagai perbuatan "gila," dan Yoon bahkan disebut sebagai pemimpin dari "negara gangster."
Profesor Leif-Eric Easley dari Universitas Ewha Seoul menyatakan, negara-negara seperti Rusia, China, dan terutama Korea Utara, kemungkinan besar mengamati kerusuhan politik di Korea Selatan dengan gembira, karena mereka melihat potensi keuntungan geopolitik.
"Tatanan otoriter percaya bahwa jika mereka berhasil mempertahankan kekuasaan, mereka bisa lebih lama bertahan dibandingkan dengan rival demokratis yang akhirnya merusak diri mereka sendiri, terjerumus dalam disfungsi, dan jatuh dari sekutu-sekutu mereka," kata Easley.
Artikel yang diterbitkan oleh Korea Utara, dan juga dimuat di Rodong Sinmun, surat kabar resmi Partai Pekerja Korea, melaporkan pada Selasa (10/12/2024), tentara dan helikopter militer dikerahkan untuk mencegah anggota parlemen Korea Selatan memasuki gedung parlemen.
"Komunitas internasional dengan tegas mengawasi, dengan penilaian bahwa insiden darurat militer ini mengungkapkan kerentanannya masyarakat Korea Selatan … dan bahwa kehidupan politik Yoon Suk Yeol bisa segera berakhir," bunyi laporan tersebut.
Artikel ini juga membahas protes besar yang terjadi, ketika anggota Partai Kekuatan Rakyat Yoon memboikot mosi oposisi untuk memakzulkan presiden pada Sabtu (07/12/2025) malam. Foto-foto protes, yang memperlihatkan orang-orang dengan glow stick K-pop dan spanduk pemakzulan, turut dimuat.
"Tindakan gilanya … telah menuai kecaman keras dari semua kalangan, termasuk partai oposisi, dan semakin memicu semangat publik untuk pemakzulan," tambahnya.
Belum jelas mengapa media negara Korea Utara baru memberikan komentar setelah waktu yang lama, mengingat kritik yang sering dilontarkan terhadap Yoon, seorang konservatif garis keras yang sejak menjabat pada tahun 2022 berusaha mengisolasi Korea Utara.
(Erha Aprili Ramadhoni)