Pengelolaan hak sewa tanah di lereng Gunung Merapi menjadikan Pangeran Diponegoro, harus berseberangan dengan adiknya. Sang adik Sultan Hamengkubuwono (HB) IV yang naik tahta sebagai penguasa di usia muda menjadikan konon mudah dikendalikan oleh eksternal Keraton Yogyakarta, terutama Belanda.
Sang sultan memberikan hak sewa lahan kepada Belanda dan warga - warga Eropa, yang memunculkan kontroversi. Tak cuma di lereng Gunung Merapi, ada beberapa pemberian hak sewa tanah di beberapa lokasi di Yogyakarta.
Saat itu Residen Belanda di Yogyakarta dan Surakarta Nahuys Van Burgst mengajukan secara khusus terkait hak sewa tanah, kepada sang sultan muda itu. Hak penyewaan tanah ke Belanda, memaksa penduduk pribumi terjepit.
Sebagaimana dikutip dari buku "Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro : 1785 - 1855", dari Peter Carey, warga di lereng Gunung Merapi diharuskan berkebun kopi. Belum lagi setelah itu efek Residen Belanda Nahuys terasa hingga hukum agraria Jawa bisa berganti.
Orang-orang Eropa dan Tionghoa diberikan kuasa untuk menyewa tanah. Hal ini sama dengan apa yang didapat pejabat-pejabat Jawa dan kaum priyayi lainnya. Pola perubahan tingkah laku pun konon terjadi, baik di Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta.
Dikisahkan orang-orang Jawa kala itu, uang tunai dari sewa tanah orang-orang Eropa dan Tionghoa tidak digunakan untuk menambah modal. Tetapi untuk penggunaan barang perabot meja kursi Eropa, kereta kuda dan permainan judi kartu.