Penanganan kasus ini tidak boleh terjebak dalam asumsi adanya tindak pidana korupsi yang didasarkan pada dugaan semata, seperti dalam kasus penerbitan sertifikat tanah, termasuk Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) yang berada di wilayah pesisir. Pihaknya pun mengingatkan Kejaksaan Agung (Kejagung) jangan tergesa-gesa berasumsi adanya tindak pidana korupsi.
Tanpa melakukan penyelidikan mendalam, asumsi semacam ini dapat mencoreng kredibilitas lembaga penegak hukum dan menciptakan ketidakpastian hukum yang lebih luas.
"Masyarakat pun mempertanyakan, bagaimana mungkin wilayah perairan bisa memiliki sertifikat tanah? Apakah ada pelanggaran regulasi atau justru pemerintah sendiri yang tidak konsisten dalam menafsirkan hukum? Pertanyaan ini harus dijawab dengan pendekatan hukum yang jelas, bukan sekadar opini dan asumsi belaka," tuturnya.
Zulkifli menyoroti pentingnya adanya pendekatan hukum yang jelas dalam menangani masalah sertifikat tanah di wilayah perairan, mengingat bahwa hukum agraria Indonesia mengatur hak atas tanah yang tidak hanya terbatas pada daratan, tetapi juga meliputi wilayah laut dan pesisir. Untuk itu, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) juga tak lepas dari sorotan.
Dalam menangani masalah pagar laut, cara penanganannya melalui pendekatan tidak berbasis pemahaman hukum yang komprehensif berpotensi merugikan kepentingan negara.
"Sikap represif tanpa mempertimbangkan berbagai aspek lainnya justru berpotensi merugikan kepentingan negara. Logika hukum yang digunakan haruslah berbasis regulasi yang berlaku, bukan hanya berdasarkan kepentingan politik atau tekanan publik sesaat," imbuhnya.