Sesuai dengan Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960, hak atas tanah memang mencakup wilayah perairan atau perbatasan pesisir, yang mana hal ini perlu dipahami dengan benar.
Prosesnya juga harus melalui Kementerian Kelautan sesuai dengan regulasi yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah. Selain itu, dalam Pasal 1 angka (7) PP Nomor 43 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Ketidaksesuaian Tata Ruang, Kawasan Hutan, Izin, dan/atau Hak atas Tanah.
Dalam aturan itu, disebutkan perizinan terkait kegiatan yang memanfaatkan ruang laut merupakan legalitas yang diberikan kepada badan usaha atau masyarakat untuk menjalankan usahanya di wilayah perairan pesisir dan laut. Sehingga, secara yuridis tanah di bawah laut memang dapat disertifikatkan.
Sebab itu, Zulkifli menekankan agar penanganan kasus pagar laut harus sesuai dengan regulasi yang berlaku, dan tidak boleh didasarkan pada opini atau asumsi yang tidak terbukti kebenarannya.
Sikap represif yang hanya mementingkan tekanan politik atau opini publik sesaat bisa merusak kepentingan yang lebih luas, terutama dalam hal stabilitas investasi di Indonesia.
Keputusan yang diambil tanpa memahami regulasi yang berlaku bisa menciptakan ketidakpastian bagi investor, yang pada akhirnya akan merugikan perekonomian nasional.
Zulkifli mengingatkan pentingnya sikap transparan dan profesional dalam menangani kasus ini. Pihaknya berharap Presiden Prabowo Subianto memberikan perhatiannya, sehingga tidak ada sekelompok elite dengan logika dan agenda tersembunyi.
"Transparansi dan profesionalisme dalam penyelidikan adalah kunci utama untuk memastikan keadilan ditegakkan tanpa merugikan kepentingan nasional," ujarnya.
(Arief Setyadi )