Dalam upaya pembaruan hukum acara pidana, Rancangan KUHAP mengusulkan penguatan peran jaksa sebagai Dominus Litis. Salah satu langkah yang diusulkan adalah keterlibatan jaksa sejak tahap awal penyidikan, sehingga jaksa dapat memberikan arahan dan supervisi kepada penyidik.
Hal ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas proses penegakan hukum, serta mengurangi kemungkinan bolak-balik berkas perkara antara penyidik dan penuntut umum.
“Selain itu, RKUHAP juga mengatur kewenangan jaksa untuk menghentikan penuntutan demi kepentingan umum atau dengan alasan tertentu. Langkah ini sejalan dengan penerapan keadilan restoratif, di mana jaksa memiliki peran penting dalam menentukan penyelesaian perkara di luar pengadilan melalui mediasi atau mekanisme lainnya yang bertujuan memulihkan hubungan antara pelaku, korban, dan masyarakat,”terangnya.
Namun kata dia, implementasi asas dominus litis dalam RKUHAP menghadapi tantangan, terutama penyesuaian peran dan kewenangan antara kepolisian dan kejaksaan. Diperlukan sinergi dan koordinasi yang baik antara kedua lembaga ini untuk memastikan bahwa penegakan hukum berjalan secara efektif dan efisien, serta menghindari tumpang tindih kewenangan yang dapat menghambat proses peradilan.
Dalam draf terbaru, asas dominus litis tetap dipertahankan tetapi dengan beberapa penyesuaian untuk memperkuat akuntabilitas dan perlindungan hak tersangka atau korban.
“Seperti pembatasan kewenangan deponering ditentukan bahwa Meski JPU tetap berwenang menghentikan penuntutan, RUU memperketat syarat deponering dengan mewajibkan persetujuan Ketua Pengadilan Negeri. Ini dimaksudkan untuk mencegah penyalahgunaan wewenang dan memastikan transparansi,”ulasnya.
“Bila disimak dengan seksama dominus litis dapat menimbulkan ketimpangan jika JPU memiliki kewenangan terlalu luas tanpa checks and balances,”ucapnya.