Selain itu, peran Dominus Litis atau pengendali perkara juga disalahartikan dengan ingin menjadikan Kejaksaan sebagai central authority. Kondisi ini, kata dia, menjadi berbahaya karena tidak akan ada lagi mekanisme check and balances yang efektif serta rentan diselewengkan.
"Sangat rentan dan berpotensi digunakan sewenang-wenang. Termasuk juga akan terjadi tumpang tindih dan perebutan kewenangan dengan lembaga negara lain," jelasnya.
Sementara, Direktur Imparsial Ardi Manto menilai pembahasan RUU Kejaksaan yang dilakukan secara tertutup sangatlah berbahaya karena tidak transparan kepada publik. Ia lantas menyoroti beberapa potensi terjadinya perluasan tugas dan kewenangan dalam Pasal 30A, 30C dan 30D yang berpotensi menimbulkan abuse of power.
"Pembahasan tertutup akan menghasilkan produk hukum yang ortodoks dan represif. Bahkan menguntungkan kekuasaan dan bukan menghasilkan UU yang berpihak pada rakyat," tuturnya.
Kemudian, Direktur Riset Centra Initiative Erwin Natosmal mencatat setidaknya ada 11 pokok permasalahan yang tertuang dalam RUU Kejaksaan. Beberapa yang menjadi sorotan yakni pergeseran domain kekuasan Kejaksaan dari eksekutif ke kehakiman serta Hak imunitas Jaksa dan keluarganya.
Kemudian diskresi penggunaan senjata api yang dinilai tidak memiliki urgensi; rangkap jabatan di luar lembaga Kejaksaan; masuknya militer dalam konsepsi penegakan hukum; pemulihan aset tanpa check and balances.
Selanjutnya fungsi intelijen dalam perluasan wewenang Kejaksaan; diskresi perluasan fungsi yudikatif; hingga penambagan kewenangan penyadapan.
"Pelebaran diskresi dengan memunculkan kata 'dapat' dinilai tidak jelas, karena jika terlalu banyak diskresi tanpa kontrol akan menimbulkan penyalahgunaan wewenang," pungkasnya.
(Angkasa Yudhistira)