BELANDA akhirnya menyerbu markas utama Pangeran Diponegoro dan pasukannya di Desa Selarong. Strategi penambahan kekuatan pasukan dan perekrutan informan atau spionase dari warga pribumi ternyata begitu efektif. Tapi bukan Pangeran Diponegoro kalau tak lihat berstrategi perang.
Pasca tambahan seluruh pasukan Belanda memusatkan perhatian di Pulau Jawa bagian tengah dan timur. Jenderal Belanda De Kock memerintahkan Komandan Garnisun Surakarta Letnan Kolonel Cochius bergerak ke Yogyakarta, dengan kekuatan dua kompi infanteri hulptroepen, yaitu satu peleton huzar atau infanteri berkuda, dan satu kompi dragonder atau kavaleri ringan dan artileri.
Dengan susah payah pasukan Cochius berhasil masuk Yogyakarta. Langkah selanjutnya de Kock merencanakan operasi militer besar-besaran merebut kembali Kota Yogyakarta dan dilanjutkan sampai ke Selarong, dengan kekuatan tiga kolone atau sekitar 7.500 orang, dikutip dari "Sejarah Nasional Indonesia IV : Kemunculan Penjajahan di Indonesia".
Pada tanggal 22 September 1825 Jenderal de Kock tiba di Klaten. Pada hari Sabtu tanggal 24 September 1825, pasukannya bergerak menyerbu Yogyakarta. Pasukan Kolone I berhasil memukul mundur pasukan Diponegoro dan pada hari itu Yogyakarta direbut kembali.
Sepuluh orang pangeran tertangkap dan ditawan. Belanda lantas membuat pengumuman akan memberi pengampunan kepada mereka yang pernah memberontak. Kemudian ia menulis surat kepada Diponegoro dan Mangkubumi yang berada di Selarong.
Surat itu berisi ajakan damai yang disampaikan lewat utusan yang bergelar pangeran, yaitu Pangeran Ronodiningrat. Utusan diterima oleh Pangeran Suryenglogo. Setelah surat itu dibicarakan dengan Mangkubumi dan Kiai Mojo, Diponegoro menolak. Surat balasan disusun oleh Pangeran Joyokusumo dan Pangeran Suryenglogo, tegasnya Diponegoro menolak diajak berdamai.
Jenderal de Kock kemudian memerintahkan pasukan Kolone II menyerbu Selarong. Desa ini telah kosong. Pasukan Diponegoro berpencar ke berbagai arah. Menurut memoarnya, Diponegoro yang dikawal oleh pasukan Bulkiyo dan Mandung bergerak ke arah barat menyeberangi Sungai Progo sampai di Desa Jekso (Dekso).
Desa ini terletak di dekat pertemuan Sungai Duwet dan Progo, yang rupanya telah dipersiapkan sebagai markas komando cadangan menggantikan Selarong. Dari desa ini Diponegoro mengendalikan jalannya peperangan.
(Awaludin)