Meskipun ada undang-undang pemberantasan korupsi, pelaksanaannya tetap lemah. Regulasi yang ambigu dan kurangnya transparansi dalam pengawasan menjadi kendala besar.
Kasus-kasus rekening gendut yang melibatkan BUMN dan lembaga negara seperti Kementerian Keuangan Rp349 triliun yang pernah disampaikan Mahfud MD. Kemudian, ada Asabri, dan Jiwasraya dan lainnya menambah daftar kelam korupsi di negeri ini.
"Pertanyaannya, apakah penegak hukum benar-benar serius menangkap, menghukum, dan merampas harta para pelaku kejahatan korupsi untuk dikembalikan kepada negara? Ataukah semua ini hanya drama yang dimainkan untuk sekadar menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi masih berjalan?" ujarnya.
Pieter menilai pemberantasan korupsi hanya sekadar drama tanpa tindakan nyata. Menurutnya, untuk keluar dari jebakan ‘middle income trap’, Indonesia perlu berinvestasi dalam sumber daya manusia dan infrastruktur, serta melakukan transformasi ekonomi yang lebih efisien dan berkelanjutan.
Namun, semua itu hanya bisa tercapai jika Indonesia memiliki pemimpin yang berani mengambil langkah tegas. Pieter juga mengusulkan agar Indonesia meniru negara-negara seperti Tiongkok, Arab Saudi, dan Singapura dalam menerapkan hukuman berat bagi koruptor, serta menyita harta mereka.
"Indonesia tidak akan pernah bebas dari korupsi jika terus dipimpin oleh orang-orang yang korup dan takut mengambil tindakan tegas. Kita membutuhkan pemimpin yang berani membersihkan negeri ini dari para penjarah uang rakyat, menindak tegas para pelaku korupsi, dan mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap hukum," katanya.
Mantan Ketua Komisi III DPR itu menegaskan bahwa untuk mewujudkan Indonesia yang adil dan makmur, rakyat perlu menuntut pemimpin yang bersih, berani, dan tidak kompromi dengan koruptor.
"Sebab, selama para pengkhianat rakyat masih bercokol di kursi kekuasaan, selama itu pula mimpi tentang Indonesia yang adil dan makmur akan tetap menjadi ilusi belaka," pungkasnya.
(Arief Setyadi )