JAKARTA – Sekretaris Lembaga Bantuan Hukum dan Advokasi Publik (LBH AP) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Ikhwan Fahrojih, menyoroti kondisi peradilan Indonesia tengah mengalami krisis moral. Pernyataan ini terkait dugaan suap senilai Rp60 miliar yang melibatkan hakim dan avokat dalam vonis lepas kasus ekspor minyak sawit mentah (CPO).
“Maraknya suap-menyuap karena rendahnya moralitas penegak hukum, baik advokat maupun hakim," kata Ikhwan dalam keterangannya, dikutip Kamis (24/4/2025).
Kejaksaan Agung (Kejagung) diketahui telah menetapkan sejumlah pihak sebagai tersangka, termasuk hakim, pengacara, dan panitera pengadilan. Pengadilan, kata Ikhwan, seharusnya menjadi tempat terakhir masyarakat menggantungkan harapan akan keadilan. Sehingga moral dan integritas hakim merupakan hal utama.
Selain itu, Ikhwan menyayangkan keterlibatan para pengacara dalam praktik suap tersebut. Ia mengingatkan bahwa profesi advokat dikenal sebagai officium nobile (profesi mulia) yang seharusnya menjunjung tinggi etika, dan tidak boleh memberi suap.
"Di profesi advokat ada kode etik advokat, di mana advokat sebagai officium nobile tidak boleh memberi suap," ujarnya.
Keterlibatan pengacara Marcella Santoso dan Ariyanto Bakri dalam suap tersebut, menurut Ikhwan, persoalan integritas pribadi. Ia meyakini, tidak semua pengacara melakukan hal tersebut kepada penegak hukum. “Jika hal itu terjadi (memberi suap, red), maka itu adalah masalah integritas personal yang mencoreng profesi,” ujarnya.
Lebih lanjut, Ikhwan menekankan pentingnya evaluasi menyeluruh terhadap sistem peradilan untuk memberantas praktik mafia hukum. Salah satu upaya yang ia dorong adalah pembenahan dalam proses rekrutmen hakim.
"Rekruitmen perlu dipertimbangkan untuk merekrut calon-calon hakim yang telah berpengalaman di dunia hukum misal selama 10 atau 15 tahun, bukan fresh graduate," katanya.
Ia juga mendorong perguruan tinggi hukum untuk aktif melakukan eksaminasi terhadap putusan-putusan hakim. Tujuannya bukan hanya sebagai bentuk kontrol, tetapi juga sebagai indikator dalam promosi dan rotasi hakim.
Di sisi lain, Ikhwan menilai bahwa peningkatan kesejahteraan hakim adalah hal yang tak kalah penting. Hal ini seiring dengan dilakukannya pengawasan yang lebih ketat.
Pihaknya berharap independensi hakim bukan hanya sekadar slogan belaka. Namun, diwujudkan dalam kualitas putusan yang berpijak pada logika hukum dan kebenaran. Hakim harus menjadi harapan terakhir bagi keadilan, bukan menjadi bagian dari persoalan.
Sebanyak empat hakim dijerat dalam perkara suap itu yakni, Agam Syarif Baharuddin (ASB) dan Ali Muhtarom (AL) selaku hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat; Djuyamto (DJU) selaku hakim Pengadilan Jakarta Selatan, dan Muhammad Arif Nuryanta (MAN) yang menjabat Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Kejaksaan juga menahan dua tersangka yang merupakan pengacara, yakni Marcella Santoso dan Ariyanto Bakri.
Adapun suap yang diberikan bertujuan untuk mengatur putusan perkara pemberian fasilitas Ekspor CPO kepada tiga korporasi yaitu, PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group dan PT Musim Mas Group.
(Arief Setyadi )