Penggantinya, Lee, telah berkampanye dengan serangkaian janji, termasuk satu untuk memulai kembali dialog dengan Pyongyang dan untuk mengurangi ketegangan antara kedua negara.
Langkah tersebut bertujuan untuk "mengembalikan kepercayaan dalam hubungan antar-Korea dan mencapai perdamaian di Semenanjung Korea", kata militer dalam sebuah pernyataan, sebagaimana dilansir BBC.
Namun, organisasi yang mengadvokasi untuk meningkatkan hak asasi manusia warga Korea Utara telah mengkritik penangguhan tersebut.
"Pengeras suara merupakan jembatan penting bagi rakyat Korea Utara, pengingat bahwa mereka tidak dilupakan. Dengan mematikannya, kita hanya memperkuat upaya Kim Jong Un untuk mengisolasi rakyatnya", kata Hana Song, Direktur Eksekutif Pusat Basis Data Hak Asasi Manusia Korea Utara yang berpusat di Seoul.
"Fakta bahwa salah satu tindakan pertama pemerintah baru adalah mematikan pengeras suara merupakan tanda yang meresahkan," tambahnya. "Hal itu menunjukkan bahwa kita kembali ke masa-masa menenangkan rezim Korea Utara."
Namun, penduduk yang tinggal di sepanjang perbatasan menyambut baik langkah tersebut. Selama berbulan-bulan mereka mengeluh bahwa hidup mereka terganggu oleh suara pengeras suara yang datang dari Selatan dan Utara, terkadang di tengah malam.
"Kami berharap keputusan ini akan mengakhiri perang psikologis berbasis kebisingan Korea Utara, yang memungkinkan penduduk kami untuk kembali ke kehidupan sehari-hari mereka yang normal," demikian disampaikan Daerah Ganghwa, salah satu wilayah perbatasan dalam sebuah pernyataan.
Menurut laporan kantor berita Yonhap, keputusan militer tersebut juga mempertimbangkan fakta bahwa Korea Utara tidak lagi mengirim balon berisi sampah melintasi perbatasan.