JAKARTA – Anggota Komisi III DPR RI, Abdullah, mendesak aparat kepolisian untuk mengusut tuntas pihak-pihak yang terlibat dalam praktik jual beli rekening bank untuk keperluan judi online (judol). Ia menegaskan bahwa para pelaku harus ditindak tegas karena dinilai sangat merugikan masyarakat dan negara.
Pernyataan tersebut disampaikan Abdullah menanggapi temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang mencatat sebanyak 571.410 Nomor Induk Kependudukan (NIK) penerima bantuan sosial (bansos) terindikasi bermain judi online.
Temuan itu diperoleh setelah PPATK mencocokkan data 28,4 juta NIK penerima bansos dengan 9,7 juta NIK pemain judol, dengan nilai transaksi yang diperkirakan mencapai Rp15 miliar.
“Polisi harus menindak tegas para penjual maupun pembeli rekening bank untuk judol sesuai hukum yang berlaku. Jika dibiarkan, mereka akan terus bertransaksi, menyuburkan judi online, dan menggali jurang kemiskinan lebih dalam,” tegas Abdullah, Jumat (11/7/2025).
Abdullah, yang akrab disapa Abduh, menilai penegakan hukum terhadap pelaku dapat mengacu pada sejumlah regulasi, termasuk KUHP, UU ITE, serta aturan lainnya.
Ia merujuk pada Pasal 303 KUHP yang mengatur tentang perjudian, dengan ancaman hukuman penjara maksimal 10 tahun atau denda hingga Rp25 juta. Sementara dalam Pasal 27 ayat 2 UU ITE, pelaku judi online dapat dijerat dengan hukuman maksimal 10 tahun penjara dan denda paling banyak Rp10 miliar.
“Dari kedua undang-undang tersebut, pelaku jual beli rekening bank untuk judol dapat dikenakan hukuman kurungan dan denda maksimal. Penegakan hukum ini penting agar ada efek jera,” ujar Abduh.
Ia mengungkapkan bahwa praktik jual beli rekening dilakukan baik secara daring maupun luring, tersebar di wilayah perkotaan hingga perdesaan. Menurutnya, dibutuhkan upaya yang lebih menyeluruh dan cepat dari aparat penegak hukum.
“Yang menjadi catatan, meski beberapa pelaku sudah ditindak, tapi transaksi jual beli rekening untuk judol ini bukannya menyusut, malah semakin menjamur,” katanya.
Abduh menegaskan, penanganan terhadap jual beli rekening judol harus dilakukan secara menyeluruh dari hulu hingga hilir, serta dilakukan secara terintegrasi dan cepat.
“Misalnya, ketika PPATK sudah mendeteksi, maka OJK dan perbankan segera melakukan investigasi dan validasi data untuk pemblokiran. Selanjutnya, kepolisian harus menindaklanjuti dengan penyelidikan dan penyidikan terhadap para pelaku,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia juga mendorong PPATK, OJK, dan kepolisian untuk menelusuri aliran dana yang digunakan dalam aktivitas judol. Menurutnya, sebagaimana terjadi dalam sejumlah kasus di Amerika Serikat dan Inggris, aliran uang judi sangat rentan terhadap praktik pencucian uang.
“Artinya, kepolisian juga harus mampu mengungkap praktik pencucian uang dari jutaan rekening judol tadi,” tambah Abduh.
Ia pun mengingatkan agar pemberantasan judi online tidak hanya menyasar pelaku kecil, sementara aktor utama atau bandar besar justru lolos dari jeratan hukum.
“Jangan sampai pemberantasan judol hanya dilakukan di permukaan, hanya menyasar pemain kecil, sedangkan bandar kelas ‘kakap’ bisa lolos dari hukum,” pungkasnya.
(Awaludin)