JAKARTA – Koalisi partai berkuasa Jepang yang dipimpin Perdana Menteri Shigeru Ishiba telah kehilangan mayoritas di Parlemen Nasional menyusul hasil pemilihan umum untuk majelis tinggi yang diumumkan pada Senin, 21 Juli. Hasil ini menjadi pukulan besar bagi pemerintahan Ishiba yang sebelumnya juga telah kehilangan kendali majelis rendah parlemen setelah pemilihan cepat di awal tahun ini.
Ini adalah pertama kalinya sejak 1994 partai berkuasa di Jepang kehilangan kendali mayoritas di kedua majelis.
Partai Demokrat Liberal (LDP) pimpinan Ishiba dan mitra koalisi juniornya, Komeito, kehilangan 19 kursi dalam pemilihan hari Minggu, gagal mencapai ambang batas yang dibutuhkan untuk menguasai Dewan Penasihat (House of Councillors) yang beranggotakan 248 orang. Dengan 122 kursi, mereka kini kekurangan tiga kursi untuk mencapai mayoritas.
Partai oposisi utama – Partai Demokrat Konstitusional Jepang (CDP) – mempertahankan 22 kursinya. Perolehan suara oposisi terbesar datang dari Partai Demokrat untuk Rakyat (DPP) yang berhaluan kanan-tengah dan partai populis ultrakonservatif Sanseito, yang masing-masing meraih 13 kursi.
Sanseito menjadi kekuatan baru dalam politik Jepang dengan agenda anti-imigrasi, janji pemotongan pajak, dan peningkatan belanja kesejahteraan. Dipimpin Sohei Kamiya, Sanseito menganut slogan “Japanese First” yang mencerminkan slogan MAGA dari Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, dengan janji serta isu yang serupa.
Kamiya secara terbuka menerangkan bahwa ia terinspirasi oleh "gaya politik yang berani" ala Donald Trump. Termasuk di dalamnya strategi populis, retorika nasionalis, dan taktik komunikasi digital.
Didirikan melalui saluran YouTube-nya saat pandemi COVID-19, Sanseito tumbuh dari gerakan kecil hingga menjadi kekuatan politik utama. Saluran YouTube mereka kini telah memiliki lebih dari 460 ribu pelanggan, sekitar tiga kali lipat dibandingkan partai penguasa LDP.
Di sisi lain, Sanseito juga berupaya menampilkan citra positif ke publik serta menanggapi kritik atas pandangannya tentang kesetaraan gender dengan mengusulkan beberapa calon perempuan.
Meski ada seruan dari partai untuk mengundurkan diri, Ishiba berjanji untuk tetap menjabat dan berdialog dengan oposisi, menggambarkan situasi ini sebagai "krisis nasional." Dalam konferensi pers hari Senin, ia berjanji mendorong kenaikan upah guna mengimbangi kenaikan harga dan berniat melibatkan Presiden AS Donald Trump secara langsung dalam perundingan perdagangan.
Kekalahan ini terjadi di masa sulit bagi Jepang yang dihadapkan pada inflasi serta ancaman tarif 25% dari Trump atas barang-barang Jepang mulai 1 Agustus. Washington juga dilaporkan menekan Tokyo untuk mengambil sikap tegas terhadap China dalam potensi konflik terkait Taiwan.
(Rahman Asmardika)