Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Mendekat ke BRICS, Pakistan Coba Patahkan Lingkaran Setan Utang IMF

Rahman Asmardika , Jurnalis-Sabtu, 26 Juli 2025 |14:48 WIB
Mendekat ke BRICS, Pakistan Coba Patahkan Lingkaran Setan Utang IMF
Pertemuan BRICS di Brasil pada awal Juli 2025.
A
A
A

JAKARTA – Perjuangan Pakistan untuk menstabilkan perekonomian di tengah krisis mendorong negara itu ke perubahan strategis menuju aliansi keuangan alternatif. Langkah ini semakin mendekatkan Pakistan ke arah BRICS dan lengan keuangannya, Bank Pembangunan Baru (NDB), menjauh dari sistem Barat.

Perubahan orientasi ini berakar pada rasa frustrasi terhadap persyaratan yang diberlakukan oleh pemberi pinjaman tradisional seperti Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia, yang bantuannya seringkali dibundel dengan reformasi struktural, langkah-langkah penghematan, dan program privatisasi yang telah menghasilkan beragam hasil bagi lintasan pembangunan Pakistan. Meskipun perubahan ini menjanjikan diversifikasi dan peningkatan otonomi, rekam jejak negara tersebut menimbulkan pertanyaan serius tentang apakah pinjaman baru, terlepas dari asalnya, akan lebih efektif daripada pinjaman lama.

Pakistan telah lama bergantung pada solusi jangka pendek melalui pinjaman eksternal untuk menjembatani kesenjangan fiskalnya, dan hasilnya dapat diprediksi bersifat siklus. Pemerintah-pemerintah sebelumnya telah mendapatkan paket bantuan darurat dari lembaga-lembaga seperti IMF, tetapi kemudian kembali meminta bantuan tambahan bertahun-tahun atau bahkan berbulan-bulan kemudian. Infus dukungan terbaru datang dalam bentuk perpanjangan pinjaman sebesar USD3,4 miliar dari China, USD1 miliar dari bank-bank Timur Tengah, dan USD500 juta dari pemberi pinjaman multilateral.

Bersama-sama, aliran masuk dana ini membantu Pakistan mencapai target cadangan devisa kritisnya sebesar USD14 miliar yang ditetapkan oleh IMF, mencegah gagal bayar dan memenuhi kewajiban keuangan langsung. Selain itu, Bank Pembangunan Asia (ADB) turun tangan dengan paket bantuan sebesar USD800 juta yang dirancang untuk meningkatkan keberlanjutan fiskal dan pengelolaan keuangan publik, ditambah dengan pinjaman sebesar USD350 juta di bawah Program Keuangan Inklusif Perempuan (WIF). Namun, terlepas dari intervensi substansial ini, kekurangan struktural masih ada, dan layanan publik terus memburuk.

 

Dengan latar belakang inilah Pakistan memilih untuk berinvestasi sebesar USD582 juta selama tujuh tahun untuk mengakuisisi 1,1% saham di NDB. Didirikan oleh negara-negara BRICS pertama, yaitu Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan, NDB dibentuk untuk mendanai proyek infrastruktur dan pembangunan berkelanjutan di negara-negara berkembang. Tidak seperti negara-negara Barat lainnya, NDB dan BRICS Contingent Reserve Arrangement (CRA) menawarkan pinjaman tanpa persyaratan ketat dan memungkinkan pinjaman dalam mata uang lokal, fitur yang sangat menarik bagi negara-negara yang bergulat dengan cadangan devisa yang fluktuatif dan ruang fiskal yang terbatas. Pengajuan keanggotaan BRICS Pakistan pada Agustus 2023 merupakan bagian dari kampanye yang lebih luas untuk menyelaraskan kembali kemitraan keuangannya.

Dilansir Islam Khabar, Sabtu, (26/7/2025), peralihan Pakistan ke BRICS ini bukannya tanpa preseden. Bantuan IMF Pakistan sebelumnya sebesar USD7 miliar dimungkinkan berkat pendanaan bersama dari negara-negara afiliasi BRICS, Arab Saudi, China, dan Uni Emirat Arab (UEA). Sementara itu, blok BRICS telah memposisikan diri sebagai alternatif yang kredibel bagi lembaga-lembaga Barat dengan mempererat hubungannya di negara-negara berkembang melalui perdagangan, diplomasi, dan pembangunan infrastruktur. Bagi Pakistan, bergabung dengan blok ini dapat membuka jalan bagi pinjaman yang lebih fleksibel dan pengaruh geopolitik yang lebih besar. Namun, optimisme harus diimbangi oleh realisme: keanggotaan dan akses ke pendanaan BRICS tidak akan serta merta menyelesaikan tantangan sistemik Pakistan.

Masalah Pemanfaatan Pinjaman

Masalahnya terletak pada pemanfaatan pinjaman. Menurut data ADB, Pakistan telah menerima lebih dari USD37 miliar melalui 723 pinjaman, hibah, dan program bantuan teknis sektor publik. Dari jumlah tersebut, USD28,27 miliar telah dicairkan. Pendanaan tersebut mencakup berbagai sektor, mulai dari energi dan ketahanan iklim hingga transportasi dan inklusi gender. Pakistan menempati peringkat teratas penerima bantuan ADB di Asia Selatan, melampaui negara-negara tetangga seperti Bangladesh dan Sri Lanka dalam hal total komitmen. Namun, terlepas dari kekuatan finansial ini, indikator pembangunan negara tersebut tetap suram. Utang publik telah membengkak hingga lebih dari USD131 miliar, sementara rasio investasi terhadap PDB Pakistan berkisar sekitar 15 persen, setengah dari rata-rata regional. Kurangnya investasi ini mengakibatkan buruknya infrastruktur, terbatasnya akses terhadap listrik dan air bersih, serta layanan kesehatan dan pendidikan yang tidak memadai.

Dalam konteks ini, pendekatan Pakistan terhadap NDB dan mitra-mitra BRICS-nya merupakan strategi keuangan sekaligus manuver geopolitik. Namun, tantangan sesungguhnya bukanlah dari mana uang itu berasal, melainkan bagaimana uang itu dibelanjakan. Jika Pakistan tidak mengembangkan kapasitas kelembagaan, kemauan politik, dan mekanisme transparan yang dibutuhkan untuk memastikan reformasi yang bermakna, bahkan pinjaman dari pemberi pinjaman yang paling lunak sekalipun akan gagal menghasilkan perubahan yang langgeng.

 

Lanskap keuangan Pakistan yang terus-menerus rapuh telah menjerumuskan negara ini ke dalam perangkap utang yang parah, di mana utang yang terus menumpuk terus mengikis kapasitasnya untuk berinvestasi dalam pembangunan yang bermakna. Sebagian besar pendapatan pajak Pakistan dihabiskan hanya untuk pembayaran utang, sehingga hanya menyisakan sedikit ruang untuk pengeluaran yang dapat mendorong kemajuan sosial-ekonomi atau memperkuat fondasi perlindungan hak-hak warga negara.

Lingkaran setan peminjaman untuk melunasi utang yang ada ini telah menjadi ciri khas lintasan fiskal Pakistan, yang menghambat kemampuannya untuk menyediakan layanan publik inti seperti layanan kesehatan, pendidikan, air bersih, dan jaminan sosial.

Dana besar yang diperoleh melalui pinjaman luar negeri, baik dari IMF, Bank Pembangunan Asia, maupun donor bilateral, jarang menghasilkan perbaikan nyata dalam kehidupan sehari-hari warga Pakistan. Meskipun telah menjalin lebih dari dua lusin perjanjian pinjaman dengan IMF dan aliran dana masuk selama puluhan tahun, negara ini terus berjuang melawan ketidakstabilan ekonomi, infrastruktur yang buruk, meningkatnya kemiskinan, dan ketidakadilan sistemik. Investasi publik masih sangat kurang, dengan rasio investasi terhadap PDB Pakistan bertahan di sekitar 15 persen, salah satu yang terendah di dunia dan jauh di bawah rata-rata Asia Selatan yang sebesar 30 persen. Kekurangan ini telah menyebabkan jutaan orang kehilangan akses ke listrik yang andal, sekolah yang berfungsi, atau rumah sakit yang memadai.

Lebih lanjut, kontras antara meningkatnya belanja pertahanan Pakistan dan memburuknya indikator pembangunan manusia menggambarkan gambaran yang meresahkan tentang prioritas fiskal yang tidak selaras. Dalam anggaran federal 2025–2026, Pakistan meningkatkan belanja pertahanan sebesar 20%, mengalokasikan sekitar $9 miliar untuk militer, menjadikannya pos anggaran terbesar kedua setelah pembayaran utang, yang menghabiskan $29 miliar. Bersama-sama, kedua kategori ini menyumbang hampir 62% dari total belanja pemerintah, sehingga hanya menyisakan sedikit ruang untuk investasi di bidang kesehatan, pendidikan, atau pengentasan kemiskinan.

 

Kegagalan Program Pakistan

Program-program yang bertujuan merestrukturisasi sistem perpajakan, mereformasi distribusi energi, dan memprivatisasi badan usaha milik negara seringkali gagal akibat lemahnya kapasitas kelembagaan, penolakan politik, atau buruknya pelaksanaan. Akibatnya, sebagian besar masyarakat terus mengalami kondisi kerja yang tidak aman, perlindungan sosial yang tidak memadai, dan pelanggaran hak-hak dasar yang tercantum dalam kerangka hukum nasional dan internasional.

Pemanfaatan utang luar negeri Pakistan, pada dasarnya, telah gagal mengkatalisasi perubahan transformatif seperti yang dibayangkan dalam dokumen kebijakan atau strategi donor. Hal ini justru memperkuat model ketergantungan fiskal yang memprioritaskan jadwal pembayaran utang daripada pembangunan manusia. Dalam iklim ini, negara semakin mengabaikan tanggung jawabnya di bidang-bidang utama, sehingga memungkinkan pihak swasta untuk mengisi kekosongan dalam penyediaan pendidikan, layanan kesehatan, dan kesejahteraan, yang seringkali mengorbankan kesetaraan dan aksesibilitas.

Pada akhirnya, peralihan Pakistan ke Bank BRICS mencerminkan kenyataan yang menyadarkan: era pinjaman Barat yang relatif mudah diakses telah berakhir. Setelah menerima lebih dari dua lusin program pinjaman dari IMF, menjadikannya salah satu peminjam paling sering di lembaga tersebut, Pakistan masih dirundung keterbelakangan, volatilitas ekonomi makro, dan ketimpangan sosial yang terus-menerus.

Meskipun telah menerima bantuan keuangan internasional selama puluhan tahun, hasilnya belum menunjukkan kemajuan yang berarti. Siklus pinjaman ini belum menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan maupun pembangunan manusia yang kuat. Sebaliknya, beban utang semakin dalam, dan reformasi penting terhambat. Peningkatan belanja pertahanan Pakistan yang tak terkendali menunjukkan bahwa dana tersebut dialihkan untuk ambisi strategis dan militer, alih-alih untuk pembangunan sosial-ekonomi.

 

Peralihan Pakistan ke BRICS, Potensi dan Risiko

Sayangnya, masih diragukan bahwa peralihan Pakistan menuju BRICS akan disertai dengan disiplin, pandangan ke depan yang strategis, dan akuntabilitas kelembagaan yang dibutuhkan untuk menerjemahkan ambisi menjadi kemajuan sejati. Tanpa perubahan radikal dalam tata kelola dan implementasi, upaya ini berisiko mencerminkan pola masa lalu: gelombang baru pinjaman luar negeri yang digunakan sebagai jalur penyelamat jangka pendek, alih-alih solusi jangka panjang. Sejarah negara dengan bantuan yang kurang dimanfaatkan, reformasi yang tersendat, dan utang yang membengkak menunjukkan bahwa, tanpa perubahan transformatif, pinjaman baru mungkin tidak menandai awal yang baru, tetapi hanya memperpanjang narasi yang sudah dikenal tentang peluang yang cepat berlalu dan pengabaian yang berkepanjangan.

Untuk saat ini, terlibat dengan Pakistan dapat menimbulkan risiko yang signifikan terhadap stabilitas keuangan Bank Pembangunan Baru, yang berpotensi merusak kekuatan dan kredibilitas negara-negara anggota yang lebih disiplin dalam hal fiskal.

(Rahman Asmardika)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement