Tantangan geopolitik saat ini kata dia menguji ketahanan nilai-nilai kebangsaan. Ketika banyak negara mengalami fragmentasi identitas, Indonesia justru mampu menjaga keutuhan berkat pendekatan inklusif yang mengedepankan moderasi dan dialog.
Nasaruddin mencontohkan bagaimana perempuan di Indonesia mendapat ruang partisipasi publik yang luas, termasuk dalam aktivitas ekonomi dan keagamaan, yang mencerminkan wajah Islam yang kontekstual, bukan tekstual semata.
“Pasar-pasar tradisional kita, penjual dan pembelinya banyak perempuan. Masjid kita pun bisa diisi bersama. Ini tidak bisa dipaksakan dengan pendekatan tekstual yang kaku, tapi harus kontekstual,” katanya.
“Nasionalisme inklusif bukan hanya tugas negara, tapi juga tanggung jawab umat. Agama harus menjadi energi positif untuk merawat persatuan, bukan alat politik identitas yang memecah belah,” pungkasnya.
(Fahmi Firdaus )