JAKARTA – Polres Metro Jakarta Selatan menangkap 11 Warga Negara (WN) China di sebuah rumah mewah di kawasan Lebak Bulus, Cilandak. Mereka diduga menjadikan tempat tersebut sebagai markas penipuan online atau online scam.
Adapun ke-11 orang yang diamankan masing-masing berinisial LYF (35), SK (24), HW (33), CZ (47), YH (32), HY (48), LZ (33), CW (40), ZL (41), JW (36), dan SL (37).
"Sebelas WNA ini diduga melakukan tindak pidana penipuan melalui media elektronik atau online scam, serta pelanggaran keimigrasian," kata Kapolres Metro Jakarta Selatan, Kombes Nicolas Ary Lilipaly, kepada wartawan, Kamis (31/7/2025).
Dari hasil pemeriksaan, para pelaku diketahui telah menempati rumah tersebut sejak Maret 2025. Dalam menjalankan aksinya, mereka menyamar sebagai polisi dari Distrik Wuchang, Wuhan, China, dan menargetkan warga negara mereka sendiri sebagai korban.
“Para pelaku menelepon korban dan mengaku sebagai petugas dari Detasemen Investigasi Wuchang. Mereka memanfaatkan media elektronik untuk melakukan aksinya, lengkap dengan seragam dan atribut kepolisian China,” jelas Nicolas.
Ia menegaskan bahwa tindakan ini merupakan bentuk penipuan lintas negara. Namun, proses pemeriksaan terhadap para pelaku menemui kendala, salah satunya karena hambatan bahasa.
"Meski berada di Indonesia, target mereka adalah warga negara asal mereka. Kami menemukan barang bukti berupa dokumen berbahasa Mandarin dan seragam resmi menyerupai kepolisian Tiongkok,” ujarnya.
Dalam penggerebekan tersebut, polisi menyita sejumlah barang bukti penting, di antaranya: satu seragam kepolisian Tiongkok, satu bundel dokumen berbahasa Mandarin, 10 unit ponsel, 10 iPad, potongan kertas bertulisan Mandarin, satu korek api berbentuk pistol, dan lima bilik kedap suara yang diduga digunakan untuk menjalankan aksi penipuan.
Atas perbuatannya, mereka dijerat dengan Pasal 28 UU ITE, Pasal 378 KUHP tentang penipuan, serta pasal-pasal dalam Undang-Undang Keimigrasian Nomor 6 Tahun 2011, termasuk pelanggaran overstay, masuk tanpa visa, penyalahgunaan izin tinggal, hingga tidak dapat menunjukkan dokumen imigrasi.
"Para pelaku tidak bisa berbahasa Indonesia maupun Inggris. Mereka juga tidak kooperatif dan memilih tutup mulut saat diperiksa,” pungkas Nicolas.
(Awaludin)