Para delegasi menyampaikan arah kebijakan nasional terkait empat isu urgensi yang diangkat, mencakup praktik baik digitalisasi aset budaya, kerangka metadata, transparansi dalam penggunaan konten berbasis kecerdasan buatan, serta model akses publik yang memastikan nilai budaya tetap berpihak pada pelaku budaya maupun komunitas.
Sektor budaya dan industri kreatif kini bertransformasi menjadi motor penggerak lapangan kerja bagi para generasi muda. Dalam diskusi yang berlangsung, para delegasi tak hanya memperhatikan kesiapan secara infrastruktur, tetapi juga kualitas sumber daya manusia melalui pengembangan kapasitas.
Sesi pertama dimulai dengan mendengar pernyataan dari ketua delegasi Zimbabwe, Brunei Darussalam, Libya, Palestina, Singapura, Syria, Indonesia, Iran, Yordania, Uzbekistan, Venezuela, Kamboja, Fiji, Malaysia, Thailand, Algeria, Armenia, Bangladesh, dan Belarus.
Sembilan belas kepala delegasi tersebut pun menyampaikan apresiasi dan terima kasih kepada Indonesia yang telah membuka ruang diskusi kebudayaan dan memetakan arah kebudayaan untuk masa depan.
Di samping itu, para kepala delegasi juga menempatkan perhatian yang sama terkait ancaman iklim dan konflik terhadap keberlangsungan warisan budaya.
“Budaya merupakan sebuah kohesi sosial, sumber ketangguhan, dan keberlanjutan. Kondisi krisis ataupun konflik harus dipetakan bersama,” ujar Menteri Dalam Negeri dan Warisan Budaya Zimbabwe, Kazembe Raymond Kazembe.
Sebagai negara yang banyak terdampak konflik, Menteri Kebudayaan Palestina, Imadeddin A.S. Hamdan Fawzyah, menegaskan dampak perang yang menghancurkan sejarah, memori kolektif, dan melukai identitas nasional sebuah bangsa.
“Di Gaza, ratusan seniman kehilangan nyawa dan bangunan bersejarah mengalami kerusakan, meskipun demikian Palestina terus meluncurkan program pelestarian budaya termasuk pengembangan industri budaya yang menyuarakan kemanusiaan,” katanya.