JAKARTA - Para pemimpin negara-negara Arab dan Islam berkumpul di Doha, Qatar, untuk merumuskan tanggapan bersama atas serangan udara Israel di ibu kota tersebut pekan lalu. Serangan yang diklaim Israel menargetkan pimpinan Hamas itu telah memicu gejolak diplomatik yang luas di seluruh kawasan Timur Tengah.
Israel melancarkan serangan udara pada Selasa (9/9/2025) saat sejumlah anggota Hamas sedang berkumpul di kantor mereka di Doha untuk membahas kesepakatan yang diusulkan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump guna mengakhiri perang Israel yang telah berlangsung selama dua tahun di Gaza.
Serangan itu terjadi beberapa jam setelah Menteri Luar Negeri Israel, Gideon Saar, mengklaim bahwa Israel telah menerima proposal Trump, yang akan membebaskan seluruh 48 tawanan Hamas di Gaza dengan imbalan pembebasan tahanan Palestina yang ditahan Israel dan penerapan gencatan senjata.
Israel menewaskan lima anggota Hamas dan seorang pejabat keamanan Qatar dalam serangan itu, meskipun gagal membunuh pimpinan Hamas yang diklaimnya sebagai target.
Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan suara bulat mengutuk serangan itu pada Kamis (11/9/2025).
Qatar telah mengundang para pemimpin negara-negara Arab dan Islam untuk pertemuan yang akan mencapai puncaknya dalam sebuah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) darurat Arab-Islam pada Senin (15/9/2025).
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Qatar, Majed bin Mohammed al-Ansari, mengatakan kepada Qatar News Agency (QNA) bahwa "KTT tersebut akan membahas rancangan resolusi mengenai serangan Israel" yang menandakan contoh lain dari "terorisme negara yang dipraktikkan oleh Israel".
Pertemuan para menteri luar negeri pada Minggu akan membahas rancangan tersebut, yang diperkirakan akan menambah kecaman internasional atas serangan Israel itu.
Perdana Menteri Sheikh Mohammed bin Abdulrahman bin Jassim Al Thani, yang bertemu Trump di New York pada hari Jumat, mengatakan bahwa Qatar akan mengupayakan respons kolektif terhadap serangan tersebut, yang dinilai telah menempatkan seluruh kawasan dalam risiko.
Qatar telah lama berperan sebagai mediator, berupaya mengakhiri perang Israel di Gaza dan menciptakan persatuan regional.
Dalam pertemuan pada Minggu (14/9/2025) dan Senin, Qatar akan mengedepankan sentimen pro-Palestina dan penentangan terhadap serangan Israel yang telah disuarakan di seluruh kawasan. Para pemimpin dari 57 negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dan 22 negara anggota Liga Arab dijadwalkan akan hadir. Namun, daftar lengkap pejabat tinggi yang akan hadir pada hari Senin belum dikonfirmasi.
KTT tersebut dipastikan akan menghasilkan pernyataan tegas terhadap Israel. Para pemimpin akan membahas berbagai cara potensial yang dapat mereka lakukan untuk mengatasi agresi Israel di kawasan tersebut.
Serangan ke Qatar ini terjadi di tengah agresi Israel yang lebih luas. Israel juga diketahui telah mengebom Iran, Suriah, Lebanon, dan Yaman, sementara perang di Gaza dan serangan militer di Tepi Barat yang diduduki terus berlanjut tanpa henti.
Rasa aman yang dinikmati Qatar dan negara-negara tetangga telah hancur, yang dapat mendorong mereka untuk mencari pengaturan keamanan atau pertahanan baru dengan AS yang lebih dari sekadar membeli senjata. Namun, ada pertimbangan politik yang sedang dimainkan, terutama dengan Washington yang masih menawarkan dukungan kuat kepada Israel meskipun frustrasi internasional semakin meningkat.
Negara-negara regional lain yang sebelumnya diincar oleh Israel dan AS untuk normalisasi hubungan kini dipandang semakin jauh dari kemungkinan tersebut.
Di antara perangkat yang dimiliki negara-negara Arab untuk menanggapi agresi tersebut adalah tindakan seperti penurunan tingkat hubungan diplomatik. Negara-negara seperti Qatar, Arab Saudi, Kuwait, dan UEA juga memiliki kapasitas finansial yang besar sebagai daya tawar, serta dana kekayaan negara dengan investasi internasional yang dapat memberlakukan pembatasan terhadap Israel, termasuk pembatasan perdagangan.
Qatar mengatakan sebagian dari tanggapannya akan bersifat hukum, termasuk melalui upaya untuk menindak pelanggaran hukum internasional yang dilakukan Israel.
(Rahman Asmardika)