Bahkan, sejumlah yayasan dan perusahaan terindikasi berlomba-lomba membangun dapur MBG demi menjadi mitra BGN, namun tidak semua proyek berjalan sesuai rencana.
Nurhadi mengatakan, dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR RI, BGN mengungkap bahwa ada 5.000 unit dapur MBG yang tidak beroperasi di lapangan, di mana kasus ini terjadi karena beberapa oknum diduga mengetahui detail seluk-beluk proses pendirian SPPG di BGN.
“Jadi ada oknum yang tahu sistem BGN, tahu cara daftarnya, dan menggunakan yayasannya sendiri. Setelah oknum ini mengunci titiknya, ternyata dia tidak membangun dapurnya, dan saat mendekati 45 hari, titik itu dijual dan ditawarkan ke investor,” paparnya.
Nurhadi menilai temuan tersebut tidak bisa dipandang sepele. Sebab, program MBG menyerap anggaran jumbo yang nilainya mencapai triliunan rupiah.
"Dengan porsi anggaran sebesar itu, transparansi dan akuntabilitas mutlak diperlukan,” tegasnya.
“Ribuan titik dapur yang mangkrak bukan sekadar soal teknis, melainkan menyangkut hak anak-anak Indonesia untuk mendapatkan asupan gizi yang layak sesuai mandat program," lanjut Nurhadi.
Nurhadi menyoroti lemahnya mekanisme verifikasi dan pengawasan lapangan sejak awal. Ia mempertanyakan penjelasan BGN terkait lokasi yang belum dibangun dapurnya tetapi sudah tercatat.
"Bagaimana mungkin ribuan lokasi sudah terdaftar, tetapi tidak menunjukkan progres pembangunan meski melewati tenggat waktu 45 hari?” tukas Nurhadi.