Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

DPR Dorong Percepatan Revisi UU Perlindungan Saksi dan Korban

Achmad Al Fiqri , Jurnalis-Minggu, 21 September 2025 |15:45 WIB
DPR Dorong Percepatan Revisi UU Perlindungan Saksi dan Korban
DPR RI (foto: Okezone)
A
A
A

JAKARTA – Anggota Komisi XIII DPR RI Pangeran Khairul Saleh menilai tantangan hukum saat ini kian kompleks. Untuk itu, ia menilai pembahasan Revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (RUU PSK) perlu dipercepat.

Menurutnya, keberadaan regulasi perlindungan saksi dan korban merupakan bentuk keseriusan negara dalam melindungi hak warga yang menjadi korban maupun saksi dalam proses hukum. Pasalnya, perlindungan yang diberikan selama ini masih bersifat simbolik dan belum sepenuhnya menjawab kebutuhan riil di lapangan.

"Kita menghadapi tantangan hukum yang semakin kompleks dari kekerasan berbasis gender, pelanggaran HAM berat, hingga kejahatan transnasional dan digital. Situasi ini membutuhkan pendekatan baru dalam sistem perlindungan saksi dan korban," kata Pangeran, Minggu (21/9/2025).

RUU Perlindungan Saksi dan Korban saat ini tengah dibahas oleh Komisi XIII DPR. Pangeran menekankan bahwa revisi UU ini harus menghadirkan pendekatan keadilan restoratif.

“Perlindungan tidak cukup hanya memberikan tempat aman atau kerahasiaan identitas, namun harus mencakup pemulihan psikologis, sosial, dan ekonomi korban,” tutur Pangeran.

 

"Kita ingin agar korban tidak lagi merasa diabaikan atau malah menjadi alat bukti semata. Revisi ini harus memastikan korban dilindungi sebagai subjek hukum yang memiliki martabat, bukan hanya bagian dari prosedur," imbuhnya.

Lebih lanjut, ia menyampaikan perubahan mendesak yang perlu dilakukan, seperti penguatan lembaga pelaksana LPSK dari segi kewenangan, kapasitas operasional, hingga kemampuan mengambil keputusan cepat di lapangan.

"Terlalu banyak kasus hukum yang terhambat karena keterlambatan perlindungan, atau karena kebingungan batas wewenang antara aparat penegak hukum dan lembaga perlindungan," paparnya.

Pangeran juga menyoroti perlunya pembaruan konsep safe house yang selama ini belum maksimal. Ia menekankan pentingnya perlindungan identitas saksi dan korban secara teknis melalui sistem berbasis teknologi.

"Keterangan saksi atau korban tidak boleh dijadikan satu-satunya alat bukti, karena hal ini membuka potensi tekanan atau manipulasi dari berbagai pihak selama proses hukum berlangsung," jelas Pangeran.

 

Dalam konteks kelembagaan, Pangeran menyebut pemisahan fungsi perlindungan dan penegakan hukum perlu dilakukan agar LPSK tidak terjebak dalam irisan kepentingan penyidikan yang bisa memengaruhi independensi perlindungan.

"Kita harus berani mengatakan bahwa perlindungan korban dan saksi bukan pelengkap, tapi pilar utama dalam membangun keadilan hukum yang beradab,” ungkapnya.

“Sistem hukum kita akan kehilangan legitimasi jika saksi dan korban merasa lebih takut kepada proses hukum daripada kepada pelaku kejahatan itu sendiri,” sambung Pangeran.

Lebih lanjut, ia menekankan keterlibatan masyarakat sipil dan lembaga advokasi dalam proses penyusunan RUU Perlindungan Saksi dan Korban perlu diperhatikan.

"Kami di DPR, khususnya Komisi XIII, sangat terbuka terhadap semua masukan. Ini bukan hanya urusan birokrasi, ini soal kemanusiaan,” terangnya.

“Kita tidak bisa menyusun regulasi di ruang tertutup tanpa mendengar suara penyintas, aktivis, dan para ahli yang selama ini bergelut langsung di lapangan,” pungkas Pangeran.

(Awaludin)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement