"Selanjutnya, dalam pelaksanaan lelang diketahui panitia pengadaan atas arahan Direktur Utama PLN, tersangka FM, telah meloloskan dan memenangkan KSO BRN–Alton–OJSC meskipun tidak memiliki syarat teknis maupun administrasi. Selain itu, diduga kuat perusahaan Alton–OJSC tidak tergabung dalam KSO yang dibentuk dan dikepalai oleh PT BRN," tuturnya.
Ia menambahkan, pada 2009 sebelum dilaksanakan penandatanganan kontrak, KSO BRN telah mengalihkan seluruh pekerjaan ke PT Praba Indopersada dengan Dirutnya, tersangka HYL, dengan kesepakatan pemberian imbalan fee ke PT BRN. Selanjutnya, HYL diberi hak sebagai pemegang keuangan KSO BRN.
"Dalam hal ini diketahui bahwa PT Praba juga tidak memiliki kapasitas untuk mengerjakan proyek PLTU di Kalimantan Barat. Kemudian, pada tanggal 11 Juni 2009 dilakukan penandatanganan kontrak oleh tersangka FM selaku Dirut PLN dengan tersangka RR selaku Dirut PT BRN dengan nilai kontrak USD80.848.341 dan Rp507.424.168.000 atau total kurs saat itu Rp1,254 triliun," ujarnya.
Ia menambahkan, tanggal efektif kontrak adalah 28 Desember 2009 dengan masa penyelesaian sampai 28 Februari 2012. Pada akhir kontrak, KSO BRN maupun PT Praba Indopersada baru menyelesaikan 57 persen pekerjaan, lalu telah dilakukan beberapa kali amandemen sebanyak 10 kali dan terakhir pada 31 Desember 2018.
"Akan tetapi, fakta sebenarnya pekerjaan telah terhenti sejak 2016 dengan hasil pekerjaan 85,56 persen. Sehingga, PT KSO BRN telah menerima pembayaran dari PT PLN sebesar Rp323 miliar dan sebesar USD62,4 juta. Itulah yang terjadi dengan total loss kerugian yang tadi telah disampaikan," katanya.
(Arief Setyadi )