"Ketentuan demikian pada hakikatnya memberikan hak imunitas absolut kepada jaksa, tanpa ruang pengecualian, termasuk terhadap situasi tertangkap tangan. Hal ini bertentangan dengan prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law) dan prinsip non-diskriminasi sebagaimana dijamin dalam Pasal 28I Ayat (2) UUD NRI 1945," lanjut pemohon.
Maka dari itu, pemohon berharap Mahkamah mengabulkan permohonannya. MK juga diminta agar menyatakan Pasal 8 Ayat (5) UU Kejaksaan bertentangan dengan UUD 1945, dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, dengan pengecualian sebagai berikut:
A. Tertangkap tangan melakukan tindak pidana.
B. Disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
C. Disangka melakukan tindak pidana khusus.
Pemohon juga memiliki petitum alternatif, yakni menyatakan Pasal 8 Ayat (5) UU Kejaksaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai:
"Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap jaksa hanya dapat dilakukan atas izin Jaksa Agung dalam waktu paling lambat 30 hari terhitung sejak permohonan izin diterima."
Sementara pemohon perkara Nomor 15/PUU-XXIII/2025 juga meminta MK menyatakan Pasal 8 Ayat (5) UU Kejaksaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Sebab, pemohon menilai pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi: