Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

DPR Soroti Selisih Kerugian Negara di Kasus Dugaan Korupsi Tata Kelola Minyak Pertamina

Achmad Al Fiqri , Jurnalis-Kamis, 16 Oktober 2025 |13:56 WIB
DPR Soroti Selisih Kerugian Negara di Kasus Dugaan Korupsi Tata Kelola Minyak Pertamina
Kasus Dugaan Korupsi Tata Kelola Minyak Pertamina (foto: Okezone)
A
A
A

JAKARTA - Anggota Komisi III DPR RI, Abdullah, menyoroti perbedaan signifikan dalam perhitungan kerugian negara pada kasus dugaan korupsi Tata Kelola Minyak Pertamina, yang tengah ditangani Kejaksaan Agung (Kejagung).

Dalam tahap awal penyelidikan, Kejagung menyebut potensi kerugian negara mencapai sekitar Rp968,5 triliun. Namun, dalam surat dakwaan yang dilayangkan kepada para terdakwa, nilai kerugian tersebut turun drastis menjadi Rp285,1 triliun. Abdullah menilai, selisih angka yang begitu besar memicu spekulasi dan kecurigaan publik terhadap transparansi penanganan kasus tersebut.

“Sekarang masyarakat bertanya-tanya, mengapa selisih kerugian dari kasus Tata Kelola Minyak Pertamina yang ditangani Kejagung itu sangat besar? Jangan salahkan masyarakat apabila curiga atau berspekulasi atas hal ini,” ujar Abdullah, Kamis (16/10/2025).

Selain soal nilai kerugian, ia juga mempertanyakan pernyataan jaksa dalam surat dakwaan yang menyebut tidak ditemukan praktik “oplosan” bahan bakar. Padahal, istilah itu sempat menjadi sorotan publik saat kasus ini pertama kali mencuat.

Menurut Abdullah, perubahan narasi dari “oplosan” menjadi “blending” atau pencampuran komponen bahan bakar dengan kadar oktan berbeda menunjukkan inkonsistensi dan kurangnya transparansi Kejagung dalam memberikan penjelasan kepada masyarakat.

“Pernyataan Kejagung itu sempat membuat masyarakat kecewa dan tidak percaya dengan Pertamina. Bahkan ada yang beralih mengisi BBM di SPBU non-Pertamina, dan itu jelas merugikan negara,” tegasnya.

 

Politikus asal Dapil Jawa Tengah VI itu menegaskan, dirinya tetap mendukung langkah Kejagung dalam memberantas tindak pidana korupsi. Namun, ia mengingatkan agar pemberantasan korupsi dilakukan secara profesional, transparan, dan akuntabel, bukan dengan pendekatan sensasional demi pemberitaan.

“Kejagung dan aparat penegak hukum mesti profesional. Jangan membuat masyarakat bingung, panik, dan akhirnya kehilangan kepercayaan yang justru bisa menimbulkan kerugian baru,” lanjutnya.

Abdullah juga mendorong agar Kejagung bekerja sama dengan lembaga dan pakar terkait sebelum menyampaikan data kerugian negara ke publik.

“Artinya, Kejagung dan APH dapat berkoordinasi dengan PPATK atau melibatkan akademisi untuk memperdalam hal-hal teknis sebelum mengumumkan besaran kerugian,” pungkasnya.

Diketahui, dalam surat dakwaan terhadap Muhammad Kerry Adrianto Riza—anak pengusaha minyak Riza Chalid dan pemilik manfaat (beneficial owner) PT Navigator Khatulistiwa serta empat terdakwa lainnya, Kejagung menyebut kerugian negara akibat kasus ini mencapai Rp285,1 triliun.

Angka ini jauh berbeda dengan pernyataan sebelumnya dari Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Harli Siregar, yang memperkirakan kerugian bisa mencapai Rp968,5 triliun jika dihitung sejak 2018 hingga 2023, sesuai periode dugaan tindak pidana berlangsung.

(Awaludin)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement