JAKARTA - Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri mengenang masa kelam saat keluarganya berjuang agar sang ayah, Presiden pertama RI Soekarno, dapat dimakamkan secara layak setelah wafat pada 1970.
Ia mengungkapkan, bahwa pemerintah Orde Baru di bawah Presiden Soeharto saat itu menolak permintaan keluarga untuk memakamkan Bung Karno di Taman Makam Pahlawan (TMP).
“Hanya untuk dimakamkan saja susahnya bukan main. Makanya kenapa beliau tidak seperti biasanya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, tapi beliau dimakamkan di sini,” kata Megawati, dikutip dari kanal YouTube PDI Perjuangan, Sabtu (1/11/2025).
Megawati menyampaikan hal itu dalam seminar internasional memperingati 70 tahun Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Blitar, Jawa Timur, yang dihadiri akademisi dan delegasi dari 30 negara.
Ia menjelaskan, lokasi makam Bung Karno di Blitar awalnya merupakan taman pahlawan bagi prajurit Pembela Tanah Air (PETA) yang gugur melawan penjajah. Area tersebut kemudian dipilih setelah permintaan keluarga ditolak oleh pemerintah Orde Baru.
“Ini sebetulnya dulu taman pahlawan dari banyak prajurit kami yang disebut PETA. Pada waktu dulu melawan Belanda, tempat ini kecil dan tidak terpelihara,” ujarnya.
Menurut Megawati, keputusan itu menjadi simbol perjuangan tersendiri bagi keluarganya. Ia juga mengenang pesan Bung Karno agar dirinya terus berjuang menjaga warisan pemikiran sang proklamator.
“Sehingga sampai akhir hayatnya pun beliau menuntut saya tetap berjuang bagi dirinya sendiri,” tuturnya.
Meski prosesnya sulit, Megawati bersyukur makam Bung Karno kini menjadi tempat yang banyak dikunjungi masyarakat dari berbagai daerah maupun negara.
“Alhamdulillah, tempat ini sekarang menjadi sangat populer. Banyak orang datang ke sini, dan ini pun sekarang jadi aneh, taman makam pahlawan juga bukan, tapi lebih dikenal dengan makam proklamator bangsa, Bung Karno,” ucapnya.
Dalam kesempatan itu, Megawati juga mengajak seluruh peserta seminar untuk tidak hanya mengenang sejarah, tetapi meneguhkan kembali nilai-nilai perjuangan dan kemerdekaan yang diwariskan Bung Karno.
“Bukan sekadar mengenang sejarah, tapi juga untuk meneguhkan kembali arah peradaban yang diwariskan oleh proklamator kemerdekaan Indonesia,” katanya.
(Awaludin)