Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Warga Baduy Ditolak RS karena Tak Punya KTP, DPR: Rumah Sakit Tak Boleh Tolak Pasien!

Achmad Al Fiqri , Jurnalis-Jum'at, 07 November 2025 |23:29 WIB
Warga Baduy Ditolak RS karena Tak Punya KTP, DPR: Rumah Sakit Tak Boleh Tolak Pasien!
DPR RI (foto: Okezone)
A
A
A

JAKARTA – Anggota Komisi IX DPR RI, Nurhadi, menyoroti peristiwa penolakan terhadap seorang warga Baduy Dalam bernama Repan, yang tidak mendapatkan penanganan medis karena tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP).

Ia menegaskan bahwa rumah sakit tidak boleh menolak pasien dalam kondisi apa pun, termasuk karena persoalan administrasi.

“Kasus yang dialami oleh saudara kita dari komunitas Baduy Dalam, yang menjadi korban pembegalan saat berjualan madu dan kesulitan mendapatkan layanan kesehatan karena tidak memiliki KTP, merupakan preseden yang sangat mengkhawatirkan,” kata Nurhadi, Jumat (7/11/2025).

Sebelumnya, Repan menjadi korban begal di kawasan Rawasari, Kecamatan Cempaka Putih, Jakarta Pusat, pada Minggu (2/11) pagi. Ia mengalami luka di tangan kiri dan sempat ditolak rumah sakit di kawasan tersebut karena tidak membawa KTP.

Selain kehilangan uang sebesar Rp3 juta dan 10 botol madu dagangan, Repan akhirnya berjalan kaki menuju kediaman kenalannya di Tanjung Duren, Jakarta Barat, sebelum dibawa ke Rumah Sakit Ukrida untuk mendapatkan pengobatan dengan biaya bantuan dari orang lain.

 

Menanggapi hal ini, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menegaskan bahwa rumah sakit wajib memberikan penanganan medis dalam situasi darurat, tanpa melihat status administrasi pasien. Kemenkes juga meminta agar nama rumah sakit yang menolak pasien tersebut diungkap ke publik.

Sementara itu, Menko PMK Pratikno menyatakan akan menelusuri kasus Repan dan berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk membahas persoalan kepemilikan KTP warga Baduy.

Nurhadi menekankan bahwa pemerintah harus menjamin setiap warga negara memiliki akses terhadap layanan medis dasar, terutama dalam keadaan darurat.

“Rumah sakit ataupun fasilitas kesehatan tidak boleh menolak pasien hanya karena persoalan administrasi seperti tidak memiliki KTP,” ujarnya.

Politikus asal Jawa Timur itu juga menyoroti kondisi masyarakat Baduy Dalam yang secara historis memiliki pola kehidupan berbeda, termasuk dalam hal administrasi kependudukan. Menurutnya, hal tersebut kerap menjadi penghambat ketika mereka menghadapi situasi darurat.

“Pemerintah perlu memastikan masyarakat adat atau komunitas khusus mendapat kemudahan dalam memperoleh dokumen dasar, atau minimal memiliki pengakuan administrasi agar hak-hak dasar mereka terlindungi,” tegasnya.

 

Nurhadi juga mendorong Kementerian Kesehatan, Kemendagri, Dinas Kesehatan, dan Dinas Sosial di berbagai daerah agar bersinergi.

“Untuk kasus semacam ini, SOP-nya harus jelas: rumah sakit wajib memberikan pertolongan pertama, sementara administrasi dapat dilengkapi kemudian,” katanya.

Untuk langkah jangka panjang, Komisi IX DPR akan mendorong regulasi khusus yang menjamin akses layanan kesehatan tanpa diskriminasi, termasuk bagi masyarakat adat yang belum memiliki dokumen formal.

“Saya menegaskan, tidak boleh ada warga negara yang ‘terlupakan’ oleh sistem hanya karena persoalan administratif,” ungkap Nurhadi.

Ia menambahkan, kasus ini harus menjadi momentum untuk mengevaluasi sistem pelayanan kesehatan nasional, agar lebih inklusif dan menghormati hak asasi manusia (HAM).

“Kami di Komisi IX DPR siap berkoordinasi dengan pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan agar kejadian seperti ini tidak terulang,” pungkasnya.

(Awaludin)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement