Dalam konflik Israel–Gaza, Trump mendorong pendekatan yang memadukan tekanan politik dan militer terhadap pihak-pihak yang bertikai, memaksa tercapainya gencatan senjata dengan poin-poin yang diusulkan AS. Meski gencatan senjata dipandang sebagai jeda penting untuk bantuan kemanusiaan, pihak lain menilai kondisinya masih rapuh dan sangat bergantung pada dinamika politik kawasan.
Faktanya, Israel yang merupakan sekutu AS terus melanggar gencatan senjata tanpa mendapat respons dari Washington.
Trump juga mengklaim berhasil memaksakan gencatan senjata antara Thailand dan Kamboja dengan ancaman tarif terhadap kedua negara jika menolak proposal yang diajukan.
Namun, hingga kini Trump belum berhasil membawa Rusia dan Ukraina menyudahi pertempuran yang telah berlangsung sejak 2022. Janji Trump untuk mendamaikan konflik tersebut pada hari pertama pemerintahannya belum terwujud.
Tekanan militer dan sanksi menjadi metode yang digunakan Trump untuk mencapai tujuannya. Inilah yang terjadi pada Venezuela di penghujung 2025.
Kebijakan terhadap Venezuela ditandai dengan peningkatan tekanan ekonomi dan kehadiran militer maritim di kawasan Karibia.
Pemerintah AS menyatakan langkah ini bertujuan membatasi pendanaan pemerintah Venezuela, menekan aktivitas terkait narkotika, dan mengurangi faktor pendorong migrasi ke Amerika Serikat.
Sejumlah negara dan pengamat regional menilai operasi ini sebagai bentuk tekanan keras (hard power) yang berisiko meningkatkan ketegangan, terutama terkait insiden pemeriksaan kapal dan dampaknya terhadap perdagangan energi dengan negara lain.