YOGYAKARTA - Pemerintah harus mengkaji ulang rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di Indonesia. Sebab, Indonesia berada di jalur cincin api (ring of fire) seperti Jepang yang rentan terhadap bencana gempa dan tsunami.
“Di tempat manapun, orang cenderung was-was terkait nuklir. Apalagi di negara kita yang kepulauan dan berada pada cicin api. Pemerintah harus kaji ulang PLTN karena dampaknya yang besar,” kata Kepala Pusat Studi Lingkungan Hidup UGM, Hari Kusnanto, Rabu (16/3/2011).
Selain itu, tambah Kusnanto, energi nuklir di Indonesia tidak cocok untuk kondisi Indonesia, negara kepulauan.
“Selain membutuhkan power yang terlalu tinggi, biaya distribusi energi ke seluruh Indonesia terlalu mahal karena harus didistribusikan melalui penyeberangan laut,” urainya.
Menurut Hari, ada kepentingan tertentu untuk menggolkan program PLTN di Indonesia karena bebas polusi. “Saya kira wacana nuklir sebelum bencana Jepang sudah tidak popular, apalagi dengan adanya kejadian tersebut,” tambahnya.
Indonesia, lanjut dia, kaya akan sumber energi alternatif selain nuklir, seperti geothermal atau energi panas bumi. “Saat ini kapasitas geothermal Indonesia masih di bawah Filipina sebesar 2 ribu Megawatt,” jelasnya.
Namun, jika kapasitas energi geothermal Indonesia ditingkatkan menjadi 4 ribu megawatt, maka Indonesia akan menjadi nomor satu di dunia dalam energy geothermal.
Kusnanto berharap ada investor yang membiayai proyek geothermal di Indonesia ke depan.“Kalau masyarakat kan yang penting biaya listrik bisa murah,” katanya.
Indonesia, lanjut dia, juga kaya dengan potensi tenaga surya dan air. Bahkan, Dirut PLN Dahlan Iskan telah menyatakan ada lima pulau di Indonesia yang potensial untuk pengembangan energi surya.
Tahun depan 1.000 pulau di Indonesia akan menggunakan tenaga surya karena cukup bersih dan ramah lingkungan. Selain itu, lebih sesuai dengan kondisi rakyat Indonesia.
Hanya saja, kendala pengembangan energy alternative terletak pada kebutuhan biaya yang cukup besar.
(Anton Suhartono)