Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Ini Dia 9 Pelemahan RUU Tipikor

Rizka Diputra , Jurnalis-Minggu, 27 Maret 2011 |14:10 WIB
Ini Dia 9 Pelemahan RUU Tipikor
Ilustrasi
A
A
A

JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) dengan tegas menolak revisi RUU Tipikor lantaran berpotensi melemahkan upaya pemberantasan korupsi yang terus digalakkan.

RUU tersebut bisa menghentikan denyut nadi pemberantasan korupsi. Secara substansial terdapat sembilan norma yang "hilang" atau melemah di RUU Tipikor tersebut bila dibandingkan UU Nomor 31 Tahun 1999 dan UU Nomor 20 Tahun 2001.

Berikut sembilan pelemahan tersebut sebagaimana dipaparkan Peneliti Hukum ICW, Donal Fariz dalam jumpa pers di Jakarta, Minggu (27/3/2011):

1. Menghilangkan ancaman hukuman mati yang sebelumnya diatur di Pasal 2 ayat (2) UU No 31 Tahun 1999.

2. Menghilangnya pasal 2 yang paling banyak digunakan aparat penegak hukum dalam menjerat koruptor.

3. Hilangnya "ancaman hukuman minimal" di sejumlah pasal. ICW menemukan tujuh pasal di RUU tipikor yang tidak mencantumkan ancaman hukuman minimal.

4. Penurunan "ancaman hukuman minimal" menjadi hanya 1 tahun. Hal tersebut dikhawatirkan menjadi pintu masuk untuk memberikan hukuman percobaan bagi koruptor bila dibandingkan dengan UU No 31 Tahun 1999 yang bervariasi mulai dari 1 tahun bahkan 4 tahun untuk korupsi yang melibatkan penegak hukum dan merugikan keuangan negara.

5. Melemahnya sanksi untuk "mafia hukum" seperti suap untuk aparat penegak hukum di UU No 31 Tahun 1999 jo UU 20/2001 suap untuk hakim ancaman minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun. Sedangkan di RUU Tipikor minimal hanya 1 tahun dan maksimal 7 tahun (ditambah 1/3) atau 9 tahun.

6. Ditemukan pasal yang potensial mengkriminalisasi pelapor kasus korupsi.

7. Korupsi dengan kerugian negara di bawah Rp25 juta bisa dilepas dari penuntutan hukum (pasal 52). Dalam klausul tersebut disebutkan pelepasan penuntutan hanya dilakukan setelah uang dikembalikan dan pelaku mengaku bersalah. Hal ini tetap dinilai sebagai bentuk kompromi terhadap koruptor yang dikhawatirkan akan membuat korupsi kecil-kecilan yang terjadi di pelayanan publik akan semakin marak.

8. Kewenangan penuntutan KPK tidak disebutkan secara jelas dalam RUU (pasal 32), padahal di pasal sebelumnya posisi KPK sebagai penyidik korupsi disebutkan secara tegas. Hal ini menurut ICW harus dicermati agar tidak menjadi celah untuk membonsai kewenangan penuntutan KPK.

9. Tidak ditemukan dalam RUU Tipikor aturan seperti Pasal 18 UU 31 Tahun 1999 dan UU 20 Tahun 2001 yang mengatur tentang tindak pidana tambahan, pembayaran uang pengganti kerugian negara, perampasan barang yang digunakan dan hasil untuk korupsi, penutupan perusahaan yang terkait korupsi.

(Carolina Christina)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement