JAKARTA - Kasus percobaan penyuapan yang dilakukan oleh dua perwira menengah (Pamen) polisi kepada pejabat tinggi di Mabes Polri untuk mendapatkan jabatan tertentu, memang sulit dibuktikan.
Sebab dua pamen, yakni AKBP ES dan Kompol AJP yang kedapatan membawa uang Rp200 juta ke Gedung Utama Mabes Polri dengan cara mencurigakan sempat diamankan oleh Direktorat Tindak Pidana Korupsi (Tipidkor) Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri.
Namun, karena uang tersebut belum sempat berpindah tangan, maka Kepolisian menganggap keduanya tidak melakukan tindak pidana.
Menanggapi hal itu, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto, mengatakan perlu adanya sebuah regulasi untuk mengsut kasus-kasus percobaan suap seperti ini.
"Sekarang yang jadi paling susah adalah menguji sejauh mana percobaan itu ada tindak kejahatannya. Saya menduga teman-teman di Kepolisian akan sulit membuktikan apa motif dari itu. Sebab, membawa uang Rp200 juta itukan baru satu unsur saja. Terus unsur lain yang mau dibuktiin yang mana?" jelas Bambang saat ditemui di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (27/6/2013).
Bambang menerangkan, memang sulit membuktikan jika melihat orang membawa uang sebanyak itu, karena membawa uang sebanyak itu ke sebuah instansi tidak salah. Tapi, membawa uang sebanyak itu dari luar negeri ke Indonesia baru dapat dikatakan salah, karena ada delik kejahatannya.
"Oleh sebabnya ketentuan yang mengatur non cash payment menjadi penting. Jadi, orang sekarang kalau mau melakukan penyuapan balik lagi ke jaman dulu, yaitu cash and carry.
Menurut Bambang, kalau kasus ini mau dikaji secara sistematis, perlu dibuat undang-undang untuk mengatur non cash payment atau ketentuan seseorang tidak boleh melakukan transaksi tunai dengan jumlah tertentu.
"Kebutuhan untuk mengatur transaksi tunai itu perlu dilakukan, karena kini semua kasus poenyuapan selalu memakai uang cash," tegasnya.
Nanti akan dibuat aturan kalau bertransaksi Rp50 juta itu tidak diperbolehkan membayar tunai dan harus melalui bank untuk proses transaksinya.
"Tujuannya, agar semua transaksi tercatat. Jadi, kalau ada orang nenteng-nenteng Rp100 juta bisa ditangkap, karena dipertanyakan apa maksud bawa uang sebanyak ini dan bisa mudah diduga melakukan penyuapan," simpulnya.
(Rizka Diputra)