BLITAR - Kabar huru-hara penculikan tujuh Jenderal terkait G 30S PKI diterima terlambat. Sebab penyampaian informasi saat kejadian tak secanggih saat ini.
"Kita memang terlambat menerima kabar adanya Gerakan 30 September 1965. Memang saat itu tidak banyak saluran informasi seperti sekarang, " ujar Chudlori Hasyim (83), bekas Pimpinan Ansor Nahdlatul Ulama (NU) Blitar, saat ditemui di rumahnya di Kelurahan Plosokerep, Kecamatan Sananwetan, Kota Blitar.
Chudlori masih terlihat bugar. Perawakanya jangkung, tinggi, dan besar dibanding kebanyakan orang Indonesia. Nada bicaranya lantang. Setiap kalimat yang terucap penuh dengan tekanan. Ia juga masih piawai melontarkan candaan. Guyonan khas warga nahdliyin.
"Ansor Zaman 1965 jelas lebih kuat dan gagah. Tidak seperti Ansor zaman sekarang," ucapnya.
Ayah empat anak dan kakek enam cucu itu adalah salah satu penggagas sekaligus pendiri Barisan Ansor Serba Guna (Banser) NU.
Walau secara umum sehat, sebuah tongkat penyangga menopang kaki kirinya. Tongkat alumunium dengan bagian atas sebagai penumpu ketiak itu yang menemani Chudlori kemana pun ia pergi.
Langkahnya tampak tertatih. Begitu juga saat keluar dari kamar menuju ruang tamu. Suatu ruang yang bersih dan tertata.
Figura bergambar bumi bertuliskan tinta emas Nahdlatul Ulama (NU) menghias dinding ruangan. Di sebelahnya tampak jam tembok dan sejumlah foto keluarga.
Chudlori juga mengenakan alat bantu pendengaran. Piranti digital berwarna putih itu terpasang di daun telinga kanannya.
Bersama delapan pimpinan Ansor Blitar lain, Chudlori memutuskan membentuk Banser. Yakni suatu kekuatan para militer untuk menjawab aksi sepihak PKI dan organisasi sayapnya. Peristiwa itu terjadi pada 14 April 1964 dan ditandai sebagai harlah Banser NU.
Kesembilan pimpinan Ansor Blitar itu adalah Zaenudin Kayubi atau Moch Zein Kayubi, KH Abdurrochim Sidik, M Romdhon, Zaenuri Acham, Atim Yanto, Chudlori, Moch Fadhil, H Supangat, dan H Ali Muhsin.