Dua pasangan capres/cawapres,JK-Wiranto dan Megawati-Probowo menolak hasil pilpres yang telah ditetapkan KPU. Carut marut DPT dan berbagai kelemahan KPU menyelenggarakan pilpres sebagai alasan kedua capres meminta pilpres diulang lagi. Kedua capres menolak anggapan bahwa mereka tidak siap kalah atas realitas kemenangan pasangan SBY-Boediono. Alasan penegakan demokrasi menjadi strategi penguat bahwa pilpres telah mencederai hak-hak rakyat yang sengaja dikebiri oleh ketidakmampuan KPU mendata dengan benar rakyat yang berhak memilih . Mereka bersikukuh pilpres harus diulang sehingga menjadi sengketa di Mahkamah Konstitusi.
Lupa memang merupakan sifat yang melekat kepada manusia. Namun kalau terlalu cepat lupa tentu keterlaluan atau malah ketololan. Janji untuk siap senang dan kalah yang dijadikan para capres pada saat memulai kampanye baru terjadi beberapa bulan lalu. Namun kenyataannya, semua capres yang kalah lupa dan tidak siap mengeksekusi janji yang terlanjur didengar seluruh rakyat. Kedewasaan tidak melulu dicirikan dari perubahan fisik dan usia. Justru kedewasan ditandai dengan senantiasa berusaha melawan lupa, ingat dengan berbagai janji, dan siap menerima konsekuensi terburuk dari permainan. Kedewasaan juga dicirikan dengan sikap menghormati apa pun hasil pertandingan, walaupun terasa pahit.
Upaya menghormati proses dan hasil akhir pada konteks politik, merupakan bagian dari kedewasaan politik yang tidak terpisahkan dari upaya penguatan etika dan moral (fatsun) politik. Etika dan moral politik mutlak diperlukan agar setiap perilaku dan keputusan politik tidak sekedar mengusung kepentingan pragmatis tertentu saja. Fatsun politik merupakan baian dari kultur demokrasi pada prinsipnya memertaruhkan kehormatan aktivis dan elite politik.
Apalagi terhadap pemimpin politik (partai politik) komitmen terhadap fatsun politik akan menjadi suri teladan bagi kader dan konstituennya. Penegasan dalam implementasi sikap siap menang dan legowo jika kalah harus terus diserukan, mengingat kita punya pengalaman politik yang cenderung tidak mau menerima kekalahan. Ada sebagian yang dengan lantang menolak hasil Pemilu Legislatif April lalu dan sering terjadi hasil pilkada di berbagai daerah berujung pada anarkis massa.
Terlalu besar energi yang dikeluarkan untuk menyelesaikan ketidakpuasan atas hasil pemilu. Banyaknya praktik politik yang berkaitan dengan hasil pemilu, mengesankan bahwa kita memang belum dewasa dalam berdemokrasi. Ini juga bisa dilihat antara lain dari banyaknya kasus perselisihan yang ditangani oleh Mahkamah Konstitusi.
Di tengah banyaknya persoalan yang melingkupi negeri ini, tentu sikap paling bijak dari para capres yang kalah adalah menerima kekalahan. Bukankah dalam rentang panjang waktu yang digunakan mereka, baik ketika kampanye ataupun semasa memegang amanah jabatan publik, pernah berikrar akan mengutamakan kepentingan bangsa di atas segalagalanya. Itu artinya, menerima dengan elegan hasil pilpres pun juga bagian dari sumbangsih mereka terhadap kepentingan bangsa dan negara.
Wawan Budayawan, Spd
Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya
(M Budi Santosa)