BLITAR- Mohammad Ibnu Sayuti atau lebih dikenal dengan Sayuti Melik adalah pengetik naskah Proklamasi Kemerdekaan RI. Pejuang kelahiran Sleman,Yogyakarta itu adalah anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), yang juga suami Soerasti Karma Trimurti (SK Trimurti), seorang wartawati dan aktivis perempuan di masa pergerakan dan era kemerdekaan.
Meski sama-sama belajar Marxisme sebagai ideologi perjuangan melawan penjajah dan dibuang di Boven Digul (1927-1933), Sayuti bukanlah Tan Malaka. Mulai dari ejaan nama, hingga asal usul kelahiran, Sayuti Melik berbeda dengan Datuk Sutan Ibrahim (Tan Malaka).
Namun lucunya, dalam acara pawai kebangsaan memperingati HUT RI ke 67 yang digelar Pemerintah Kota Blitar, Sayuti Melik muncul sebagai Tan Malaka. Diantara barisan pengusung bingkai foto para tokoh pejuang negeri ini, terdapat foto Tan Malaka dengan keterangan nama Sayuti Melik. Si pengusung gambar, yakni seorang pelajar tingkat menengah pertama, terlihat santai.
Meski sesekali mencoba melepas lelah dengan mencandai temanya yang memegang foto Bung Karno, Moh Hatta dan Sukarni, “penjaga” Sayuti Melik berwajah Tan Malaka itu tetap berjalan gagah. Ia berada bersebelahan dengan pemegang foto Bung Karno. Posisi itu seolah mengingatkan sebuah peristiwa sejarah yang jarang diungkap. Bagaimana Bung Karno pernah menulis testamen (surat wasiat), akan menyerahkan tahta kepresidenan jika dirinya dan Hatta tidak bisa melanjutkan perjuangan karena terbunuh.
“Gimana sih. Itukan Tan Malaka. Kok keterangan fotonya Sayuti Melik, “celoteh seorang remaja laki-laki yang berada diantara kerumunan penonton. Melihat penampilanya, sepertinya pemuda itu seorang mahasiswa yang cukup memahami sejarah dan tokoh perjuangan negeri ini.
Ditengah badai kemeriahan pesta perayaan kemerdekaan, tentunya protes kecil itu hanya angin lalu. Sebagain besar warga masyarakat Kota dan Kabupaten Blitar lebih memperhatikan kostum yang dikenakan peserta pesta. Mulai barisan marching band dengan seragam putih-putih bak laksamana lautan, hingga pakaian adat bhineka tunggal ika.
Sorak sorai membahana saat tarian kuda lumping, disusul dua ondel-ondel raksasa serta dadak merak reog khas Ponorogo melintas. “Hai, lihat kemari..kemari!, “teriak seorang ibu paruh baya bersama remaja putri yang mengacungkan kamera kepada seorang peserta yang berdandan putri Kerajaan Majapahit.
Sepertinya si Putri Tribuana Tunggadewi yang membuat banyak decak kagum itu adalah kerabatnya. Ada sebanyak 92 rombongan peserta pawai kebangsaan ini. Mereka berasal dari unsur Pendidikan, SKPD jajaran Pemkot Blitar, Instansi Vertikal, BMUD/BUMN, Kecamatan dan Kelurahan, serta tokoh masyarakat. Secara longmarch berjalan mulai Kantor Wali Kota Blitar dan berakhir di pelataran Kantor Pusat Informasi Pariwisata dan Perdagangan. Jumlah penonton yang meluber di sepanjang lintasan pawai mencapai ribuan.
Seperti diketahui, Pemkot Blitar menggelar pawai kebangsaan dalam rangka peringatan kemerdekaan setiap tahun. Hanya saja, tahun ini berbeda dengan tahun sebelumnya yang digelar malam hari karena bulan Agustus bertepatan dengan bulan Ramadhan. Tingkah lucu serombongan laki-laki dengan kaos hitam bergambar Bung Karno dan bagian kepala tertutup topi bulu suku indian membuat penonton tertawa geli.
Kostum tersebut ahistoris sekaligus ironis. Hal itu mengingat tidak adanya akar sejarah penduduk asli benua Amerika (Indian) dengan bangsa Indonesia. Aktivis Kota Blitar Moh Triyanto mengaku prihatin sekaligus trenyuh dengan apa yang terjadi dalam pawai kebangsaan. Menurutnya sungguh ironis, ketika para pejabat elit Kota Blitar tidak bisa membedakan mana Sayuti Melik dan mana Tan Malaka. “Ini menunjukkan mereka tidak memahami sejarah bangsa dengan baik. Dan hal itu ironis mengingat Blitar banyak melahirkan tokoh besar, “keluhnya.
Sementara Ketua Panitia Pawai Kebangsaan Indonesia Merdeka Suharsono mengatakan bahwa acara yang digelar ini sebagai bentuk syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa atas nikmat kemerdekaan yang diberikan. Di sisi lain, acara yang digelar untuk menguatkan semangat nasionalisme kebangsaan. “Selain itu, acara ini juga menjadi ajang silaturahmi sekaligus menghibur masyarakat. Hal itu mengingat saat ini masih bernuansa Idul Fitri,“ ujarnya.
(Muhammad Saifullah )