BANDUNG - Ruangan Humas PN Bandung tiba-tiba riuh setelah kedatangan keluarga Mok Kimiati (79) siang tadi. Keluarga itu datang untuk mempertanyakan bangunan rumah dan hotel milik mereka yang dieksekusi tanpa ada surat resmi dari pengadilan maupun instansi berwenang lainnya.
Anak Kimiati, Suryadi Senjaya (59), membeberkan, kedatangan ke PN Bandung ingin mempertanyakan eksekusi sekaligus perampokan yang menimpa rumah sekaligus Hotel Dunia miliknya di Jalan Oto Iskandardinata (Otista) Nomor 11a, Kecamatan Sumur Bandung, Kota Bandung, yang terjadi pada 22 Desember 2012.
"Awalnya kami sekeluarga keluar rumah selama dua hari untuk menengok cucu. Tiba-tiba pas pulang sudah ada buldozer dan orang-orang berbadan besar seperti preman sedang meratakan bangunan. Saat itu, tidak ada yang pakai seragam dari aparat atau pengadilan, kalau ada pasti sudah kami tanya," ungkapnya.
Lantara ketakutan ditambah dengan kondisi ibunya yang sudah tua, Suryadi memilih untuk tidak berbuat apa-apa. Saat itu pihak keluarga pasrah, lantaran rumah sekaligus hotel yang telah ditempati sejak 1927 itu telah rata dengan tanah.
"Barang-barang kami sampai seperti sendal dan perabotan yang kecil itu tidak ada. Jadi kami seperti dirampok di siang bolong. Semenjak kejadian itu sampai sekarang, kami hidup di rumah kontrakan, dan makan dari belaskasihan tetangga," ucapnya.
Menurutnya, tanah dan bangunan tersebut memang pernah digugat oleh seseorang bernama Nyayu Saadah. Mulai dari tingkat pertama hingga tingkat peninjauan kembali, pengadilan menyatakan jika tanah dan bangunan tersebut tetap milik keluarga Mok Kimiati.
Belakangan, kata dia, muncul sebuah sertifikat palsu atas nama Nyayu Saadah yang diperkuat dengan surat sporadik yang menyatakan jika tanah tersebut sudah ditempati oleh Nyayu Saadah sejak 20 tahun lalu dan disebutkan jika tanah tersebut tidak pernah disengketakan.
"Padahalkan kenyataannya, kami di empat tingkat (pengadilan) menang. Tempat itu sudah turun menurun ditempati sejak 1927," jelasnya.
Lantaran adanya tekanan psikologis pascaeksekusi tersebut, pihaknya baru berani melapor ke Kepolisian mengenai beredarnya sertifikat palsu pada 9 Juli 2013 dan perusakan pada 4 Oktober 2013.
"Sampai sekarang ibu saya yang sudah tua stres, ngigau terus pingin pulang ke rumah. Untuk itu sekarang kami perjuangkan kembali hak kami dengan mempertanyakan apakah ada penetapan eksekusi atau tidak dari PN Bandung," katanya.
Pihaknya berharap, dengan pengaduan tersebut keadilan akan berpihak pada keluarganya. Dan usaha hotel yang sudah dirintis turun menurun bisa kembali beroperasi sehingga kehidupan ekonomi keluarga kembali normal.
"Sampai sekarang tanah seluas 1.332 meter persegi itu masih kosong dibiarkan begitu saja. Kalau dihitung-hitung kerugian bangunan itu mencapai Rp10 miliar, ditambah barang-barang yang dirampok mencapai Rp10 miliar juga," terangnya.
Sementara itu, Humas PN Bandung, Djoko Indrianto, mengaku, tidak bisa berbuat lebih lanjut. Namun dia memastikan dalam setiap eksekusi pasti ada aparat yang mendampingi dengan pemantauan langsung dari pihak pengadilan.
"Saran saya, ibu-bapak ini mencari pengacara yang kompeten dan pintar agar bisa membantu. Untuk masalah eksekusi atau lainnya itu bisa lapor ke polisi biar bisa dilacak (pelaku). Kalau kami hanya berwenang mengeksekusi saja," tukasnya.
(Risna Nur Rahayu)