TRADISI mengeluarkan bayi dari rumah setelah cukup usia atau peutroen aneuk disertai peucicap di Aceh, dipercaya sudah ada sejak zaman pertengahan abad 13 Masehi atau masa Kerajaan Islam Samudera Pasai.
Tradisi ini makin berkembang tiga abad kemudian pada masa kejayaan Kerajaan Aceh Darussalam. Warisan sultan ini terus diperingati secara turun-temurun di kalangan warga bumi Serambi Makkah hingga sekarang.
Hal itu diungkapkan Pemerhati Sejarah Aceh yang juga Kolektor Manuskrip, Tarmizi Abdul Hamid. Menurutnya, tradisi peutroen aneuk sudah dikenal sejak masa Kerajaan Pasai yang didirikan Malik Al-Saleh atau Meurah Silu tahun 1267 Masehi.
“Kemudian masa Kerajaan Aceh Darussalam, diimplementasikan kembali menjadi reusam negeri,” katanya kepada Okezone di Banda Aceh beberapa waktu lalu.
Ketika Sultan Iskandar Muda lahir pada 1593 M, tutur Tarmizi, istana menggelar upacara peutroen aneuk dengan meriah yang kemudian menginspirasi rakyat melakukan prosesi serupa.
Dia menjelaskan pada masa itu, jika yang di-peutroen adalah bayi laki-laki, biasanya ikut dibunyikan meriam secara bersahutan. Pendekar ikut menghunus pedang, kemudian memotong tiga batang pisang.
Menurutnya, tujuan dari simbol ini agar si anak tersebut kelak tumbuh jadi sosok pemberani dan berjiwa ksatria, tak gentar berlaga di medan perang.
Tarmizi menambahkan, dalam tradisi Aceh dahulu, anak laki-laki akan selalu diasah keberanian supaya tegar dan memiliki jiwa pejuang. Saat dininabobokan dalam ayunan, si ibu selalu melantunkan zikir, salawat serta syair-syair perang sabil.
“Tradisi ayun anak seperti ini sekarang mulai luntur, meski masih ada sebagian orang yang melakukannya terutama yang di desa-desa,” sebutnya.
Sementara itu, Ketua Majelis Adat Aceh (MAA) Badruzzaman Ismail mengatakan, tradisi peutroen aneuk dan peucicap akan terus dilestarikan sebagai warisan indatu (moyang) masyarakat Aceh.
Menurutnya tradisi ini masih sudah membumi di Aceh. Meski gerakan dan istilah antara satu daerah dengan daerah lain berbeda-beda, namun prinsip dan maknanya tetap sama.
(Kemas Irawan Nurrachman)