Menurutnya, tujuan dari simbol ini agar si anak tersebut kelak tumbuh jadi sosok pemberani dan berjiwa ksatria, tak gentar berlaga di medan perang.
Tarmizi menambahkan, dalam tradisi Aceh dahulu, anak laki-laki akan selalu diasah keberanian supaya tegar dan memiliki jiwa pejuang. Saat dininabobokan dalam ayunan, si ibu selalu melantunkan zikir, salawat serta syair-syair perang sabil.
“Tradisi ayun anak seperti ini sekarang mulai luntur, meski masih ada sebagian orang yang melakukannya terutama yang di desa-desa,” sebutnya.
Sementara itu, Ketua Majelis Adat Aceh (MAA) Badruzzaman Ismail mengatakan, tradisi peutroen aneuk dan peucicap akan terus dilestarikan sebagai warisan indatu (moyang) masyarakat Aceh.
Menurutnya tradisi ini masih sudah membumi di Aceh. Meski gerakan dan istilah antara satu daerah dengan daerah lain berbeda-beda, namun prinsip dan maknanya tetap sama.
(Kemas Irawan Nurrachman)