Setelah ia lulus, ARB membantu ayahnya, Achmad Bakrie untuk membesarkan PT Bakrie Brothers, hingga ia menjadi wakil presiden direktur. Ia berhasil mengembangkan usaha PT Bakrie Brother yang sebelumnya hanya berjualan roti dan komoditas kopi dan gula, hingga perusahaanya tersebut merambah industri pipa besi, industri manufaktur dan sebagainya. Sepeninggal ayahnya, Ical melanjutkan usaha ayahnya bersama adik-adiknya mengembangkan perusahan ke berbagai bidang usaha baru. Saat stabilitias dan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tinggi pada dekade akhir 1980-an dan 1990-an, PT Bakrie Brothers tumbuh pesat dengan jumlah karyawan lebih dari 70 ribu orang.
Menjadi pengusaha, ARB tetap aktif di dalam organisasi. Ia mendirikan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) dan menjadi Ketua Umum pada periode 1977-1979. Ia juga sempat menjadi Ketua Umum Persatuan Insinyur se-Indonesia (1989-1994), serta puncaknya, Ketua Umum Kadin (Kamar Dagang dan Industri) Indonesia selama dua periode (1993-2003) dan Presiden Kadin Asean (1996-1998).
Pada pertengahan 1997, badai hitam melanda dunia finansial Asia, mulai dari Thailand, dan kemudian menyebar ke semua jurusan, termasuk Indonesia. Dalam waktu singkat, kue ekonomi nasional tergerus 14 persen dan begitu banyak usaha besar terancam bangkrut. Rakyat resah, kelas menengah panik, mahasiswa demo, dan akhirnya pemerintahan Orde Baru tumbang setelah 32 tahun berkuasa.
Bagi dunia usaha Indonesia, saat itu adalah sebuah prahara. Karena nilai tukar dolar yang tiba-tiba meroket, hampir semua pengusaha papan atas terpuruk dalam timbunan utang. Bagi ARB, dan bagi banyak pengusaha nasional lainnya, saat-saat demikian merupakan the days of reckoning: langit seperti runtuh, kerja keras puluhan tahun tumbang seperti rumah kartu. Mereka bukan hanya perlu memikirkan nasib sendiri, tetapi terutama nasib puluhan ribu karyawan, beserta anak dan keluarga mereka.
Pilihan-pilihan yang ada serba sulit. Waktu itu, sebagian pengusaha Indonesia memilih jalan pintas yang mudah, yaitu pergi meninggalkan Indonesia, mencari save havens di negeri seperti Singapura dan Hong Kong. ARB memilih bertahan dan menghadapi persolaan yang ada, dengan merisikokan segalanya, termasuk kepemilikan saham di PT Bakrie Brothers, dari yang semula mayoritas menjadi minoritas, dengan sisa kepemilikan 2,5 persen. ARB menjelaskan bahwa dalam tahun-tahun ini dia dan keluarganya menjadi lebih miskin daripada pengemis, sebab walau aset masih tersisa sedikit, utang yang harus mereka tanggung jumlahnya jauh lebih besar.
Periode sulit itu berlangsung selama kurang lebih tiga tahun. Pada pertengahan 2001, langit mulai terbuka sedikit. Bersama adik-adiknya, ARB memutuskan untuk merambah bisnis baru, yaitu bisnis energi, khususnya batubara, sebuah bisnis yang waktu itu belum banyak dilirik. Tanpa modal, dengan hanya berbekal kepercayaan, penciuman, serta jaringan perkawanan, ARB mulai mengakuisi beberapa perusahaan batubara. Caranya dengan out of the box method, menakjubkan dari segi kreativitas dan kecepatan. Kebetulan pula, pada saat itu, harga energi dunia, termasuk batubara, mulai merangkak naik. Awalnya agak pelan, tetapi kemudian pada 2003-2008 harga batubara di pasar dunia terus meroket.