Demi bisa menertibkan pemerintahan, Jepang butuh peran Soekarno (kemudian Presiden RI pertama) yang kebetulan, masih berada di Padang usai pengasingan oleh Belanda. Kolonel Fujiyama dan Soekarno bisa mencapai kesepakatan dengan beberapa syarat, seperti yang tertuang dalam buku “Kesadaran Nasional: Dari Kolonialisme Sampai Kemerdekaan”.
“Saja jamin, pemerintah Jepang tidak akan menghalangi tuan soal kepentingan bangsa tuan...bangsa Indonesia terdiri dari berbagai unsur agama dan kebudayaan. Tugas saya mengatur pemerintahan di wilayah ini secepat mungkin dan yang efisien adalah menciptakan ketenangan masyarakat. Sebagai balasan, saya menjanjikan kerja sama secara resmi dan aktif dalam bidang politik,” ungkap Fujiyama.
“Baiklah jika demikian. Saya berjanji bekerja sama dengan tuan. Saya akan mengadakan propaganda yang sejajar dengan cita-cita kepentingan bangsa Indonesia. Artinya, saya akan berkomplot dengan tuan, namun juga akan berusaha memperoleh kemerdekaan bangsa saya,” balas Soekarno.
Jalannya pemerintahan dalam masyarakat juga sedianya tak banyak mengubah struktur pemerintahan, kecuali hanya perubahan nomenklatur yang tadinya berbahasa Belanda ke dalam bahasa Jepang.
Jepang pun tak melarang rakyat mengibarkan bendera ‘Merah-Putih’, bersanding dengan ‘Hinomaru’, bendera kebesaran Jepang. Tapi masa-masa itu segera tuntas pada 17 Agustus, bersamaan dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
(Randy Wirayudha)