“Yang masih hidup kan Jenderal (Abdoel Haris) Nasution dan Sri Sultan (HB IX). Kalau dia (Soedarisman) ragu bahwa inisiatifnya dari seorang Komandan Brigade, tanyakan pada yang bersangkutan, yang masih hidup. Apakah pernah memberi komando Serangan Umum 1 Maret atau tidak,” tandasnya.
Perdebatan ini juga turut ditanggapi aktivis penggiat sejarah Djokjakarta 45, Eko Isdianto, bahwa soal perancang serangan, mungkin Sultan HB IX memang tak punya pengalaman militer. Tapi kalau soal ide masih terbilang diragukan, antara Sultan HB IX atau Soeharto.
“Masih (diragukan) soal ide. Ide untuk mengadakan serangan serentak. Waktu itu, hanya radio milik Sultan di Keraton yang enggak di-sweeping (Belanda) dan radio itu bisa menjangkau siaran-siaran luar negeri,” papar Eko kepada Okezone.
“Nah, dari siaran-siaran propaganda Belanda, mereka menganggap serangan yang dilakukan (pejuang) dilakukan oleh ekstrimis dan rampok. Dari radio itu Sultan juga mengetahui rencana kedatangan staf PBB yang akan datang pada akhir Februari sampai awal Maret (1949),” tambahnya.
“Sultan kemudian menitipkan surat yang isinya perlu diadakan serangan serentak umum dan menyeluruh ke Yogyakarta ke Pak Dorman yang berada di Sobo, Pacitan, lewat dokter pribadi Pak Dirman, Dr. Hutagalung. Kemudian perencanaan matang dilakukan Kolonel Bambang Soegeng, Hutagalung, Bupati Wonosobo dan Banyumas,” tandas Eko.
(Randy Wirayudha)