PERAWAKANNYA gagah bak Patih Gadjah Mada di era Majapahit. Wajah sangar nan berjanggut dan senang memakai topi klasik era Hindia-Belanda dengan pin RI (Republik Indonesia) senantiasa bercokol di kepalanya ketika mengomandoi anak-anak buahnya di masa revolusi.
Dialah Gatot Soebroto, salah satu tokoh militer Indonesia yang paling kesohor selain Panglima Besar Jenderal Soedirman. Meski pembawaannya sangar, Kolonel (pangkatnya di masa perang kemerdekaan) Gatot Soebroto selalu jadi pemimpin kesayangan pasukannya.
Lahir di Banyumas, Jawa Tengah, sebagai putra pertama keluarga Sajid Joedojoewono pada 10 Oktober 1907. Gatot tutup usia pada 11 Juni 53 tahun silam tepatnya pada 1962, secara mendadak karena serangan jantung.
Semasa hidupnya, Gatot bersahabat baik dengan mantan Perdana Menteri Sutan Sjahrir dan tentunya jadi kakak yang jadi tempat bertanya dan ‘curhat’ untuk sejumlah tokoh lain, macam (Presiden RI kedua) Soeharto dan bahkan Panglima Soedirman.
Menyelami masa kecil Gatot, sejak masa sekolah figur yang didaulat sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional pada 18 Juni 1962 itu sudah punya watak pemberani dan tukang berkelahi.
Tapi hal itu membuat Gatot di-DO (di-drop out) atau dikeluarkan dari Europeesche Lagere School, akibat berkelahi dengan seorang anak Residen Belanda. Beruntung, dia masih bisa melanjutkan pendidikannya sampai ke Hollands Inlandse School (HIS) berkat bantuan anggota keluarganya di Cilacap.
Pekerjaan sebagai pegawai rendahan Belanda juga sempat digeluti, kendati tak dalam waktu yang lama. Lewat kesempatan yang dibuka pemerintah Hindia-Belanda, Gatot ikut pendidikan militer dan diterima sekolah militer Koninklijke Nederlands-Indische Leger (KNIL) di Magelang.
Cerita serupa dengan Soeharto atau Achmad Jani juga dialami Gatot, ketika pendidikannya bersama militer Belanda terhenti akibat masuknya tentara pendudukan Jepang. Karier militernya tetap diteruskan dengan pendidikan PETA (Pembela Tanah Air).
Pasca-Jepang menyerah, Gatot juga tak ayal ikut “meleburkan” diri pada Tentara Keamanan Rakyat (TKR, cikal-bakal TNI), sampai dipercaya memegang jabatan Panglima Divisi II dengan pangkat Letnan Kolonel.
Singkat kata, kariernya terus melejit dengan memegang komando Corps Polisi Militer serta Gubernur Militer Surakarta (kini Solo) dan sekitarnya. Pada 1965 setelah sempat menyatakan pensiun, Gatot mencetuskan gagasan pembentukan Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang merupakan pendahulu Akademi Militer (Akmil) TNI.
Jabatan terakhir yang diembannya adalah Wakil Kepala Staf Angkatan Darat (Wakasad). Di masa menjelang pensiunnya itu, justru nasib Gatot meredup. Sosoknya bak sudah ingin "dibuang" oleh para yuniornya, sebut saja Jenderal Abdoel Haris Nasution dan bahkan oleh Presiden Soekarno.
Namun pada 11 Juni 1962, Letjen Gatot Soebroto meninggal secara mendadak akibat serangan jantung di usianya yang ke-54. Tujuh hari lamanya bendera setengah tiang berkibar. Presiden Soekarno pun memberinya pangkat Jenderal penuh secara anumerta.
Dalam buku ‘Soekarno, Tentara, PKI: Segitiga Kekuasaan Sebelum Prahara Politik 1961-1965’, kedua tokoh yakni Nasution dan Presiden Soekarno sempat dikatakan bingung untuk memperlakukan Gatot Soebroto jelang masa pensiunnya.
Tapi dengan meninggalnya Gatot, “masalah” itu selesai dengan sendirinya. Jika kematian Gatot melegakan Nasution dan Bung Karno, tidak halnya yang dialami mantan PM Sutan Sjahrir.
Sjahrir yang ditahan Soekarno sejak 1962 itu punya hubungan yang sangat dekat dengan Gatot. Pasalnya hanya Gatot yang berani mempertanyakan status tahanan politik Sjahrir pada Soekarno. Pada kala itu, status Sjahrir terkatung-katung di dalam jeruji besi tanpa kepastian pengadilan dan keadilan.
Gatot yang meninggal di Jakarta, dimakamkan di Ungaran, Kabupaten Semarang, sebagaimana permintaan terakhirnya. Selain diabadikan di hampir semua jalan protokol ibu kota provinsi, ‘tribute’ untuk Gatot juga diabadikan pada sebuah monument di Purwokerto, Jawa Tengah.
Sosoknya juga sedikit-banyak digambarkan dengan lugas dan mendekati otentik dalam film bertema perjuangan, ‘Kereta Api Terakhir’ yang diproduksi 1981.
(Randy Wirayudha)