Hikayat Raja Perkasa Penguasa Negeri Bawah Angin

Salman Mardira, Jurnalis
Senin 29 Juni 2015 08:04 WIB
Makam Sultan Iskandar Muda (Foto: Salman Mardira/Okezone)
Share :

BANDA ACEH - Makam itu tampak agung di bawah sebuah bangunan yang dikelilingi pagar besi sepinggang orang dewasa, terlindung sebatang pohon rindang yang tumbuh ratusan tahun lalu. Pada sudut luarnya diapit dua meriam kuno. Di depannya terdapat prasasti bertulis "Makam Sultan Iskandar Muda."

Sosok pemimpin Kerajaan Aceh Darussalam periode 1607-1636 Masehi itu dikenal sebagai raja agung. Nama besar Iskandar Muda yang melegenda, menyedot para wisatawan berziarah ke makam yang berada di komplek makam raja-raja Aceh, Jalan SA Mahmudsyah, Kota Banda Aceh atau samping Pendopo Gubernur Aceh.

“Makam ini menjadi salah satu situs wisata sejarah dan religi di Banda Aceh, sejarah besar Sultan Iskandar Muda menjadi daya tarik bagi wisatawan,” kata Kabid Promosi Dinas Kebudayaan Pariwisata Banda Aceh, Hasnanda Putra.

Sementara Mujiburrijal, seorang agen perjalanan wisata di Aceh menyebutkan, selain turis lokal, makam ini juga sering diziarahi pelancong Malaysia dan negara lain.

Karena memiliki nilai religi, agenda berkunjung ke makam Sultan Iskandar Muda telah dimasukkan dalam paket wisata Ramadan di Aceh yang mulai dijual ke wisatawan selama puasa. “Salah satu study tour-nya mengunjungi makam Sultan Iskandar Muda,” sebut Mujib yang juga Duta Museum Aceh itu.

Makam Iskandar Muda keseluruhannya telah dibeton, berukiran bunga-bunga dan kaligrafi indah di sekelilingnya. Dua nisan bergaya kuno tertancap di atasnya, menyirat kemegahan. Pekarangan komplek makam ini asri dengan tanaman bunga-bunga.

Dalam komplek makam Sultan Iskandar Muda, banyak terdapat situs cagar budaya dan peninggalan sejarah seperti Gedung Pemerintahan Hindia Belanda yang kini dikenal sebagai Gedung Perjuangan, alutista peninggalan penjajah serta makam raja-raja Aceh dan keluarganya.

Namun hanya profil singkat Iskandar Muda yang bisa dibaca pengunjung pada prasasti dan papan informasi yang ada di situ.

Sultan Iskandar Muda mangkat pada 27 Desember 1636 dalam usia 43 tahun. Jasadnya dikubur di area Darul Dunya, komplek Istana Kerajaan Aceh Darussalam. Saat Belanda menginvansi Aceh, jejak makam Iskandar Muda dihilangkan kolonial untuk melenyapkan sejarah kegemilangan Aceh masa lalu.

Jejak makamnya ditemukan kembali pada 19 Desember 1952 oleh Pocut Meurah, permaisuri raja Aceh terakhir, Sultan Alaidin Muhammad Daudsyah, yang saat itu sudah berusia seabad. Kemudian dibangun permanen seperti sekarang.

Namun, sebagian orang meyakini bahwa makam yang dibeton itu hanya monumen untuk mengenang Iskandar Muda saja, sementara makam asli Sultan Iskandar Muda sudah lenyap tak berbekas lagi, meski dipercaya lokasi juga sekitar itu.

Menurut sejarah, Iskandar Muda lahir tahun 1593. Ibunya Putri Raja Indra Bangsa alias Paduka Syah Alam, anak Sultan Alaudin Riyat Syah, pemimpin Kerajaan Aceh Darussalam ke-10. Dari pihak ayahnya, ia disebut keturunan Dinasti Mahkota Alam.

Nama kecilnya Perkasa Alam. Versi lain menyebut, nama aslinya Raja Zainal yang digelari Dhama Wangsa. Baru saat memasuki akil balik dia dijuluki Perkasa Alam, sering juga dipanggil Johan Syah.

Dia diberi gelar Sultan Iskandar Muda saat naik tahta menggantikan Sultan Ali Riyat Syah (1604-1607) yang telah mangkat.

Di tangannya, Kerajaan Aceh mencapai puncak kegemilangan. Wilayah kekuasaannya mencakup dunia Melayu, mulai dari Aceh, sebagian Sumatera hingga semenanjung Malaka (sekarang Malaysia).

Bandar Aceh Darussalam (Banda Aceh sekarang) sebagai Ibu Kota Kerajaan Aceh menjadi pusat perdagangan bebas yang paling sering disinggahi kapal-kapal niaga dari berbagai negara untuk bertransaksi berbagai komoditas maupun transit.

Selat Malaka menjadi lalu lintas pelayaran sibuk kapal-kapal pengangkut hasil bumi dari Asia ke Eropa. Sejarah mencatat, Iskandar Muda orang paling berpengaruh dan berperan penting dalam menjaga stabilitas perekonomian kawasan itu.

Karena menjanjikan secara politik ekonomi, Portugis terus mengincar Selat Malaka sehingga sering bentrok dengan militer Aceh yang mati-matian mempertahankannya dari kekuasaan asing.

Menurut riwayat dalam kurun 1573 hingga 1627, pasukan Aceh dibawah kendali Iskandar Muda sedikitnya 16 kali terlibat perang dengan Portugis. Aceh sulit ditaklukkan karena memiliki alutsista mumpuni kala itu, salah satunya kapal perang induk Cakra Donya. Portugis menjuluki kapal Cakra Donya itu sebagai "Espanto del Mundo", alias Teror Dunia.

Kapal ini dikisahkan memiliki 100 meriam dan tergantung tiga lonceng raksasa sebagai alat penabuh perang, salah satunya lonceng buatan tahun 1409, hadiah dari Kerajaan China kepada Kerajaan Samudera Pasai yang diantar Laksama Cheng Ho ke Aceh tahun 1414, sebagai simbol persahabatan dua negara.

Selain mempertahankan Selat Malaka dari rebutan Portugis, Iskandar Muda tercatat juga pernah menaklukkan Kerajaan Deli, Johor, Bintan, Pahang, Kedah, Minangkabau, Perak dan Nias dari 1612 hingga 1625.

Berhasil menundukkan Kerajaan Pahang, Iskandar Muda ikut menikahi putri mahkota kerajaan itu yang bernama Kamaliah. Perempuan jelita itu kemudian dibawa ke Aceh dan dikenal dengan nama Putroe Phang alias Putri Pahang.

Dia membangun Gunongan atau gunung buatan dan taman sari di area Istana, untuk mengobati rasa rindu permaisurinya akan kampung halaman.

Saat berkuasa, Iskandar Muda menjalin hubungan bilateral yang baik dengan negara-negara Eropa seperti Inggris, Belanda, Perancis, serta negara-negara Islam serupa Turki, Persia (kini Iran), India dan lainnya.

Dia juga membangun komunikasi harmonis dengan Kerajaan Inggris, salah satunya lewat surat dikirim kepada Raja Inggris, King James I tahun 1615 untuk menunjukkan kepada dunia betapa pentingnya Aceh sebagai salah satu negeri berdaulat dan kekuatan international saat itu.

"Hamba lah sang penguasa perkasa negeri-negeri di bawah angin, yang terhimpun di atas tanah Aceh dan atas tanah Sumatera dan atas seluruh wilayah-wilayah yang tunduk kepada Aceh, yang terbentang dari ufuk matahari terbit hingga matahari terbenam,” demikian sepenggal isi surat dikirim Sultan Iskandar Muda kepada Inggris. Surat itu masih tersimpan di Museum Aceh.

Masa kepemimpinan Iskandar Muda, Aceh menjadi menjadi pusat peradaban Islam, banyak orang dari nusantara dan negara-negara tetangga belajar ilmu agama ke sana. Sebuah pendidikan tinggi yang mengkaji berbagai ilmu pernah berdiri di Masjid Raya Baiturrahman.

Sejarah mencatat Kerajaan Aceh saat itu masuk dalam lima besar kerajaan Islam terbesar dan terkuat di dunia abad 16, bersama Kesultanan Ottoman Turki, Kesultanan Syafawiyah di Persia, dan Kesultanan Moghul di India.

Aceh disegani sebagai negara berdaulat secara budaya, militer, pendidikan dan perekonomian. Dalam mengatur sistem pemerintahannya, Kerajaan Aceh memiliki undang-undang sendiri bernama Qanun Meukuta Alam al Asyi.

Iskandar Muda juga tak pandang bulu menegakkan hukum. Dia pernah menghukum mati putranya sendiri, Meurah Pupok, karena melanggar syariat Islam dan aturan kerajaan. Meurah Pupok dikebumikan di kompleks istana yang sekarang masuk area kuburan serdadu Belanda, Kherkof.

Kata-kata Iskandar Muda yang diungkapkan kala itu yakni “Gadoh anuek meupat jeurat, gadoh adat pat tamita” (hilang anak tahu makamnya di mana, hilang adat tidak tahu harus cari di mana) kini menjadi peribahasa yang terus diagungkan di Aceh.

Sebagai bentuk penghargaan atas jasa besarnya, Pemerintah Indonesia memberi gelar Pahlawan Nasional kepada Sultan Iskandar Muda, dan tanda kehormatan Bintang Mahaputra Adipradana untuk mendiang sang raja Perkasa Alam, pada 14 September 2014. (raw)

(Risna Nur Rahayu)

Halaman:
Lihat Semua
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya