JAKARTA - Marsekal TNI (Purn) Chappy Hakim, membeberkan keprihatinannya. Pasalnya, saat menjabat Letnan Dua (Letda) pada 1974 silam, ia harus izin ke Singapura, hanya untuk menuju Tanjung Pinang, meski menerbangkan pesawat latih tempur TNI AU.
"Saya pernah terbang ke Tanjung Pinang (pada) 1974. Tapi harus lapor ke Singapura. Itu dianggap biasa. Saya di rumah sendiri, kenapa harus izin ke tetangga?," ketus Chappy dalam peluncuran buku 'Tanah Air dan Udaraku Indonesia' di Jalan Matraman Raya, Jakarta Timur, Rabu (29/7/2015).
Mantan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) itu menambahkan, saat itu bahkan Menteri Perhubungan beralasan, perizinan udara Indonesia ke Singapura untuk menjamin keselamatan.
Namun, ia justru merasa gerah lantaran terkait dengan persoalan kedaulatan. "Saya sedih, itu terkait kedaulatan," imbuhnya.
Prinsip menjaga perbatasan, lanjut Chappy, bukan menindak maling, melainkan mencegah agar maling tidak masuk. Oleh karena itu, sebagai wilayah yang menjadi penyebab perang, para prajurit militer harus memahami dan selalu menggelar latihan di kawasan perbatasan.
"Selat Malaka perbatasan. Tapi pengelolaan (udara) bukan di kita. Tentara itu perang. Kalau tidak, latihan perang di wilayah yang rawan perang. Di mana (wilayah rawan perang)? Ya perbatasan! Tentara Korsel (Korea Selatan) latihannya di perbatasan Korut (Korea Utara)," pungkas Chappy.
(Randy Wirayudha)