Putusan itu dikeluarkan berdasarkan judicial review atas Pasal 245 UU MD3 sebelumnya, bahwa pemeriksaan para wakil rakyat harus seizin dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
Bagi Arsul, ada tiga pertanyaan hukum yang bisa ditimbulkan dari keputusan MK tersebut. Pertama, MK merumuskan sebuah putusan yang tidak diminta oleh pemohonnya. Sebab, pemohon hanya meminta izin MKD dihapuskan, bukan diganti menjadi izin presiden.
"Kedua, dengan menetapkan izin dari presiden, maka MK melebihi mandatnya sebagai negative legislator dan menjelmakan dirinya sebagai positive legislator yang itu seharusnya merupakan kewenangan DPR bersama presiden," ungkap Arsul kepada wartawan, di Jakarta, Selasa (29/9/2015).
Ketiga, menggeser izin dari MKD ke presiden tak bisa dianggap sebagai solusi bagi konstitusi yang berlaku.
Diketahui, judicial review pasal ini diajukan oleh Direktur Eksekutif for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi Widodo Eddyono. Gugatan itu diajukan karena keberatannya atas aturan izin dari MKD jika anggota DPR hendak berhadapan dengan penegak hukum.
(Fahmi Firdaus )